Jokowi Dan Politik Falsafah Jawa

Jokowi dan Politik Falsafah JawaPresiden Jokow Widodo (Foto: Istimewa)

Jakarta -Dalam sebuah wawancara pribadi bertajuk Merajut Kembali Persatuan Bangsa di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan filosofi Jawa ketika menjawab pertanyaan reporter Retno Pinasti.

Ada tiga falsafah yang diutarakan oleh Presiden Jokowi sebagai pegangan hidupnya. Pertama, "Lamun sira sekti ojo mateni --meskipun kau sakti jangan suka menjatuhkan." Kedua, "Lamun sira banter aja ndhisiki --meskipun kau cepat jangan suka mendahului." Dan ketiga, "Lamun sira pinter aja minteri --meskipun kau pandai jangan sok pintar."

Ini wajar, mengingat Jokowi merupakan sosok yang lahir dan besar dalam tradisi Jawa. Maka tumpuan kasunyatan-nya pun yaitu falsafah Jawa.

Sebetulnya, petuah-petuah setamsil itu yaitu hal biasa. Menjadi luar biasa bahkan bertenaga ketika yang membuat atau yang menutur yaitu seorang yang mempunyai pengaruh, baik sosial maupun spiritual. Lebih jauh, filofosi itu ditengarai merupakan ibrah dari Sayyid Ja'far Shodiq alias Sunan Kudus yang ditularkan kepada murid dan disampaikan secara turun temurun.

Langgam serupa juga terdapat di bilangan Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang memajang kalimat "anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli" dan dinisbahkan pada Sunan Kalijaga.

Atau, pada sebuah falsafah yang cukup populer dari sastrawan Sosrokartono. Sekurang-kurangnya ada sepuluh falsafah Sosrokartono, dan kini sering menjadi tembang andalan Ki Dalang Sujiwo Tedjo.

Jawa itu unik. Bukan alasannya yaitu saya, Anda, dan kebanyakan orang yaitu Jawa. Tapi memang demikian faktanya. Tidak hanya sarat dengan hal-hal spiritual, Jawa juga dikenal sebagai ladang kekuasaan.

Sejak masa ke-8 hingga ke-9, bahkan hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana dicatat seorang pengamat Jawa Iman Budhi Santosa (2012), pemerintah masa kemudian Jawa yaitu kerajaan.

Mulai dari dinasti Sanjaya dan Syailendra pada zaman Mataram kuna, misalnya, berlanjut Kerajaan Medang, Kahuripan, Kadiri, Jenggali, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram (Islam) yang hasilnya terpecah menjadi Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman.

Senapas dengan itu, KH Abdurrahman Wahid (2009) mempertegas dalam prolog buku Ilusi Negara Islam, bahwa kerajaan-kerajaan yang pernah mewarnai tanah Jawa di atas-dan juga kerajaan lain yang tersebar di seluruh Nusantara tentu saja-telah memperkuat kesadaran kita wacana pentingnya melestarikan kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi bangsa.

Lebih jauh, mirip dikutip Ariel Heryanto (2019) dari sebuah novel sejarah Mataram karya sejarawan legendaris Anthony Reid, bahwa Jawa mengajarkan betapa kita tidak sanggup membela Tuhan dengan jalur peperangan, pembunuhan, dan kebencian satu sama lain di tengah realitas kemajemukan paham kendati atas nama kebenaran.

Pasalnya, masyarakat Jawa semenjak awal telah sadar bahwa di dunia ini terdapat sudut pandang yang bermacam-macam. Dengan demikian, setiap pandangan gres dan perbuatan sanggup dinilai dan disimpulkan menurut sudut pandang yang berbeda sehingga menstimulasi pendapat yang beraneka ragam pula.

Sistem pengetahuannya pun, mengutip Kuntowijoyo (1995), cenderung dekat dengan masyarakat agraris. Kalau kita lihat buku Mujarobat, misalnya, dengan gampang ditemukan banyak wifiq, rajah, dan doa yang berkenaan dengan keperluan masyarakat agraris. Demikian halnya, penguasaan terhadap Jin yang banyak terdapat dalam masyarakat Islam juga menawarkan ciri masyarakat agraris.

Rupanya, lanjut Kunto, kepandaian Jin juga agraris. Jin sanggup berperilaku individual, tetapi tidak massal. Jin sanggup menggendong satu orang dari Banyuwangi ke Surabaya, tetapi tidak untuk 500 orang sekaligus alasannya yaitu itu yaitu kiprah kereta api.

Itulah mengapa dalam mitologi Muslim Jawa kemudian dikenal adanya Syaikh Syubakir yang konon telah lebih dulu melaksanakan "kontrak dakwah" dengan danyang-danyang Jawa sebelum membuatkan Islam.

Perpaduan antara yang sakral dengan profan itu ternyata dimengerti betul oleh para misionaris Islam masa lalu. Meski mereka bukan orang Jawa, kecuali Sunan Kalijaga, tetapi mereka bisa mendialogkan yang langit dengan yang bumi.

Atau dalam bahasa Sultan Agung (1603-1645), kalau agama itu menyerupai sastranya, maka budaya yaitu gendingnya, lagunya. Sastra itu tetap, sedang gendingnya-lah yang sanggup berubah. Demikian dengan teks Islam yang tetap, sementara konteksnya sangatlah dinamis, sanggup berubah.

Ternyata Jawa juga tidak selamanya menjanjikan. Ada banyak bahaya yang mengintai masyarakat. Melihat kondisi alam dan letak geografisnya, cukup masuk akal bila Jawa dikenal sebagai "gudang peristiwa alam".

Bencana demi peristiwa itu tidak hanya fenomena belakangan ini saja. Ia telah berulang-kali terjadi sepanjang zaman. Kisah tertimbunnya Candi Prambanan dan Borobudur serta candi-candi lain di masa kemudian cukup menjadi pola untuk menyampaikan betapa letusan Gunung Merapi pernah memorak-porandakan sebuah peradaban megah.

Selain bahaya di luar kuasa insan itu, masih ada problem lain yang tak kalah krusial. Fakta bahwa ada banyak kerajaan di Jawa sebagaimana tersebut di atas sekaligus menegaskan bahwa ia tidak bisa lepas dari keniscayaan ideologi monarkhi: perang dan perebutan kekuasaan.

Dan, kendati yang bersengketa yaitu para raja, elite, atau darah biru untuk memenuhi ambisi kekuasaan, tentu saja ia berdampak pada ketenteraman, kesejahteraan, dan ketenangan hidup rakyat masing-masing negara atau pihak-pihak yang berseteru.

Dalam bagan yang berbeda tapi masih sama di tataran konteks, pertarungan kekuasaan dengan segala pertaruhannya itu senyatanya masih menghantui Indonesia hingga hari ini. Kita sudah menyaksikan kengerian itu dengan sangat melimpah ruah.

Lebih-lebih sebelum, pada saat, dan selepas Pilpres 2019. Sungguh, "perang" sanggup terjadi manakala semua orang suka berebut benar, mati-matian mempertahankan ego kebenarannya, dan ngotot mencari menang sendiri.

Mungkin, kita tidak mengharapkan kalau di Indonesia terjadi perang gara-gara Pemilu. Tapi satu hal yang patut digarisbawahi, kita pernah berabad-abad jadi bangsa terjajah dan terpecah-belah oleh ambisi politik memecah-belah yang dipraktikkan Koloni.

Pertanyaannya sekarang, apakah hanya alasannya yaitu Pemilu yang tentu saja akan berulang lima tahun lagi, kita kemudian tega saling mencaci bangsa sendiri?

Semoga saja falsafah Jawa yang Presiden Jokowi pegang itu tidak hanya sebatas retorika, tetapi juga bisa mengejawantah dalam banyak sekali sikap dan keputusan politik untuk masa depan Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kertaraharja.

Lagi pula, mirip diakui Presiden Jokowi sendiri, kalau ia tidak dibebani oleh dosa politik masa kemudian bukan? Ya, meskipun kalau dihitung-hitung pada periode pertamanya, dosa politik masa kemudian yang pernah ada tidak sepenuhnya tuntas ia selesaikan.

Anwar Kurniawan alumnus STAI Sunan Pandanaran, aktif di Komunitas Santri Gus Dur Jogja


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel