Korupsi Dan Kesia-Siaan Ilmu Politik
Jakarta -
Jelang peresmian Presiden 2019-2024, jagad politik Indonesia diguncang oleh beberapa peristiwa. Dari masalah Papua, agresi mahasiswa menolak banyak sekali Rancangan Undang –Undang (RUU), hingga penusukan Menpolhukam Wiranto. Namun, dari sekian info tersebut, yang bisa menghimpun agresi massa dalam jumlah besar dan menjadi perhitungan pemerintah yaitu agresi mahasiswa.
Geliat gerakan mahasiswa tampaknya menemukan momentum. Pemicunya yaitu pengukuhan RUU yang merevisi UU KPK sebelumnya. Banyak pihak merasa, RUU yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut bertujuan mengerdilkan kiprah KPK. Tentu saja dewan perwakilan rakyat berkilah, lantaran mereka merasa RUU tersebut dirancang biar KPK bekerja lebih fokus dan profesional. KPK berdasarkan mereka bekerja tanpa pengawasan dan punya potensi abuse of power dan terpolitisasi.
Suara publik dari laporan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2019 wacana hal tersebut mengatakan arus utama (63%) memposisikan KPK sebagai institusi yang lebih dipercaya ketimbang dewan perwakilan rakyat (39%) dan bahkan juga presiden (62%). Oleh alasannya yaitu itu, ketika RUU tersebut disahkan, menjadi logis muncul kecurigaan terhadap kesepakatan kedua institusi otoritatif tersebut.
Demikian juga halnya dengan pemerintah, terlebih sistem presidensial masih berlaku dan secara konstitusional mempunyai hak untuk menyetujui maupun tidak RUU yang disusun oleh DPR. Saat sudah menjadi UU sekalipun, Presiden masih mempunyai hak untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Tidak berhenti di sana, dewan perwakilan rakyat dengan konsekuensi kekuasaan legislatif juga punya hak untuk mendapatkan atau menolak Perppu.
Korupsi dalam Ilmu Politik
Dalam konteks pendidikan politik, masalah RUU KPK memberi pembelajaran publik untuk memahami bagaimana prosedur konstitusi di negeri ini. Sistem presidensial dalam pemerintahan ketika ini, tidak lagi mempunyai kekuasaan yang diktatorial menyerupai halnya pada masa Orde Baru (Orba). Selanjutnya, presiden dituntut punya kemampuan yang jago untuk mengkonsolidasikan kontribusi di parlemen.
Menyimak banyak sekali insiden politik mutakhir, polemik analisisnya sebagian besar menyajikan pendekatan ilmu politik tradisionalisme vs behavioralisme. Pertentangan ini diperjelas dengan indikator-indikator yang dipakai untuk melihat fungsi kelembagaan politik pemerintah serta arus protes yang dilakukan oleh kelompok di luar pemerintahan.
Korupsi sebagai fakta politik dan sosial masih belum terjelaskan secara utuh dalam kerangka ilmu. Berbagai pendekatan tampaknya terlihat maju, semisal yang dilakukan Richard Robison (1986) dalam Indonesia:The Rise of Capital. Robison mengulik berkelindannya kepentingan politik dan bisnis dari penguasa dan pengusaha yang memunculkan konglomerasi ekslusif dan kemiskinan masif di masa Orba.
Namun demikian, sekalipun analisis Robison sanggup dijadikan tumpuan penting untuk membaca kekacauan situasi politik dan ekonomi ketika ini, masih kurang memadai untuk memberi solusi bagaimana kondisi ideal yang diperlukan sanggup tercapai. Pasalnya, kendati pun dengan metodologi modern, unit analisisnya masih terfokus pada negara (state oriented).
Kaum ilmuwan politik tradisionalisme lebih banyak memperdalam kajian wacana idealitas fungsi negara di Indonesia. Sedang ilmuwan behavioralisme melaksanakan kajian-kajian wacana fungsi ini dengan diperkuat dengan partisipasi dan keterwakilan rakyat dalam insitusi formal negara.
Dalam ranah ilmu politik pasca-Reformasi banyak bermunculan forum survei politik. Jika survei-survei yang dilakukan dianggap sebagai produk kajian politik, maka sulit menghitung jumlahnya. Saat ini, ada 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota yang setiap 5 tahun melaksanakan pilkada. Setidaknya dalam 2 dekade ini telah dihasilkan ribuan kajian politik dari banyak sekali daerah. Apakah ini mengatakan perkembangan ilmu politik yang pesat di Indonesia, dan apakah menciptakan situasi lebih baik?
Ternyata tidak semudah itu untuk menilainya. Prosedur demokrasi yang dilalui tampaknya menyisakan masalah-masalah sosial baru. Terjadi klientelisme politik di mana sebagian besar para politisi mendapatkan suaranya dengan cara transaksional. Edward Aspinal dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia (2019) menjelaskan hal tersebut secara gamblang. Kemampuan finansial politisi diperoleh dari kontribusi korporasi, yang sebagian besar tumbuh berkembang di masa Orba.
Terabaikannya Eksistensi Rakyat
Perspektif yang menganggap korupsi yaitu duduk kasus penegakan aturan memang tidak terbantahkan. Namun, aturan dibentuk dengan kuasa politik yaitu fakta konstitusional. Di sisi lain, kuasa politik sebagian besar diperoleh dari praktik manipulatif kekuasaan terhadap rakyat juga realitas yang tidak terhindari.
Pertanyaannya, bila kita menyepakati demokrasi sebagai nilai dasar sistem negara, mengapa sumber kekuasaan yakni eksistensi rakyat justru diabaikan? Saat ada anggota dewan legislatif yang menyatakan bahwa mereka yang berhak mewakili rakyat, pada kenyataannya yang diwakili hanyalah bunyi tanpa wujud, selain jumlah angka yang mendudukkan mereka di dingklik parlemen. Suara itu tidak sepenuhnya bisa merasuk dalam kesadaran kritis untuk mengabdi, terlebih bila diperolehnya dengan jalan transaksional.
Kajian wacana rakyat sebagai sumber kekuasaan politik selain minim, hanya menghasilkan sekadar jargon. Parahnya, sebagian besar ilmuwan politik justru memberi peluang pada pencari kekuasaan (power seeker) untuk menaklukkan bunyi rakyat. Untuk itu kritik pendekatan ilmu politik post-behavioralisme perlu diperhatikan.
Pentingnya nilai-nilai kebajikan sosial harus diutamakan oleh para ilmuwan politik untuk mencegah kesia-siaan ilmu politik. Jika fakta rakyat tidak berdaya secara politik, maka info itu harus menjadi kajian utama. Dari sana akan didapat solusi yang sempurna untuk merumuskan pendidikan politik rakyat, yang mendukung demokrasi substansial. Kesadaran kritis kolektif rakyat yaitu prasyarat dan satu-satunya cara untuk mencegah korupsi dan salah urusnya negara.
Dwi Munthaha mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional