Memetik (Sejarah) Teh Di Jawa
Jakarta -Senin (1/4), Keraton Kasunanan Surakarta yang semula senyap bersalin riuh. Pihak istana menggelar ritual peringatan kenaikan tahta raja Pakubuwana (PB) XIII ke-15. Acara tersebut dihadiri sejumlah pejabat negara, antara lain mulai Menko Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Kapolda Jawa Tengan Irjen Pol Condro Kirono.
Istana tua, kusam, dan berdebu itu sudah terlihat kepayahan menyongsong perubahan zaman. Terlalu usang larut dalam konflik kekuasaan, hingga balasannya "harta karun" pengetahuan yang terkandung di dalamnya turut tenggelam. Masih banyak kearifan sejarah dan kisah unik yang belum terkuak. Ambillah misal, kasus sejarah teh yang memantulkan kuatnya budaya ngeteh di Jawa tempo doeloe.
Jangan salah, aristokrat Keraton Kasunanan di masa kemudian pernah mempunyai perkebunan teh di Ngampel, Boyolali. Usaha budidaya flora teh dijajal kaum aristokrat tersebut dinamai Madusita. Fakta ini terekam dalam Serat Biwadha Nata yang terpahat kalimat: Ing Ngampel dereng dangu mentas kabikak pabrik teh kagungan dalem, nama Madusita." Kata "madu" artinya madu (manis), lantas "sita" berarti ati (hati) atau adem (dingin).
Sampai sekarang, daerah Ngampel masih memperlihatkan kesegaran dengan temperatur cuaca 260 c - 300 c serta keindahan untuk santapan bola mata sehingga menerbitkan ketenteraman hati.
Area Ngampel dipilih kaum darah biru sebagai lokasi perkebunan bukan tanpa dasar. Disorot dari segi geografis, tempat ini memenuhi sejumlah persyaratan untuk nandur tanaman teh biar bertumbuh baik. Antara lain, dataran tinggi, beriklim tropis dan sejuk, tanahnya subur berkat guyuran bubuk Gunung Merapi, serta curah hujan banyak. Biasanya pada Desember-Maret curah hujan tinggi. Tak ayal, warga setempat yang berada di lereng Merbabu kudu waspada dengan bahaya tanah longsor.
Bukan hanya menyuburkan kantong kerajaan, perjuangan perkebunan teh juga membawa berkah bagi masyarakat setempat. Pembesar kerajaan memberi kesempatan seluas mungkin terhadap penduduk orisinil guna memperoleh sumber kehidupan di perkebunan. Upah yang didapatkan relatif tinggi dibanding penghasilan mereka sebagai petani yang kadang bernasib pahit akhir gagal panen diserang hama atau salah musim.
Makarya sebagai buruh perkebunan musiman, orang-orang desa tiada perlu pusing memikirkan untung-rugi, lantaran kasus itu yang menanggung pengusaha. Aneka pekerjaan buruh, yakni mengangkut daun teh hijau yang dipetik dari petak ke pabrik pengolahan serta mengusung kayu bakar, memelihara bangunan pabrik pengolahan maupun gedung pengepakan, dan mengangkut teh kering keluar dari pabrik pengolahan.
Sewaktu perkebunan hendak dilengkapi gudang pengolahan maupun gudang pengepakan, tentu butuh kayu dan bambu. Bahan itu sanggup dibeli dari warga lokal. Kahanan ini mendorong penduduk mencari penghasilan pemanis dengan menjual bambu dan kayu ke kontraktor atau perusahaan perkebunan. Selain itu, pengelola pabrik memerlukan kayu untuk materi bakar. Dalam memproses daun teh segar, dibutuhkan penggorengan menggunakan kayu bakar, khususnya memproduksi teh hitam.
Menurut Sugijanto Padmo (2004), ongkos yang dikeluarkan untuk membangun setiap pabrik dan gedung rata-rata f.500. Nilai uang segitu tidak menjadi soal bagi Paku Buwana X (1893-1939) lantaran kondang sebagai raja terkaya ketimbang para pendahulunya. Jumlah kekayaan kerajaan tercatat dalam arsip laporan Banda Lumeksa yang didapat dari pajak, persewaan, dan sumber lainnya.
Selepas pabrik teh rampung dibuat, Serat Biwadha Nata menyebutkan Paku Buwana X bersama prameswari meresmikannya. Tentunya, program pelantikan ini menyiratkan pesan terhadap pembesar dan penguasa Mangkunegaran sebagai rival politiknya. Bahwa pihak Kasunanan bersiap menubruk peluang ekonomi dari budaya ngeteh yang semerbak di Hindia Belanda dan melonjaknya seruan komoditas teh ekspor.
Kalau sudah diniati mencebur di arena bisnis, siapa pula yang mau merugi? Penggede istana sebagai bandar (bos) memastikan keadaan flora teh merupakan cerminan dari banyak sekali keadaan. Misalnya, kondisi lahan, pemeliharaan tanaman, pemupukan, hingga pemberantasan hama dan penyakit. Aktivitas yang dilakoni menyerupai pemetikan daun hijau dan pengolahan hasil mempengaruhi kualitas teh yang dipanen kudu dicermati dan betul-betul dikawal. Pandangan umum, kian elok pohon teh, bertambah banyak daun hijau yang dibuahkan.
Tak jarang pengusaha perkebunan teh profesional melibatkan tenaga kerja Tionghoa. Secara historis, negeri Cina memang bersahabat dengan dunia teh. Bahkan, Inspektur Budi Daya Teh di Hindia Belanda berjulukan Jacobson tahun 1833 mendatangkan biji teh dari telatah Cina. Tuan kulit putih ini melakoni percobaan penanaman teh di 14 lokasi di Jawa, dan hasilnya lumayan.
Belum terlacak titik-titik sebaran hasil panen teh yang digarap Kerajaan Kasunanan. Namun jikalau mengacu pada praktik perkebunan kaum Eropa pertengahan era XIX, jalur pengiriman teh diketahui dari pabrik menuju pelabuhan Semarang, Batavia, kemudian Amsterdam dan London. Teh diwadahi keranjang berbahan bambu. Setiap satu pon (setengah kilogram) teh kering berasal dari pemetikan daun teh hijau pada 14 rumpun flora teh.
Sekelumit dongeng yang saya bentangkan di atas yaitu bukti raja pribumi punya andil dalam menyebarkan perjuangan perkebunan teh di Jawa. Artinya, narasi perihal budidaya teh bukan hanya melulu didominasi komunitas Eropa. Sekalipun disapu gelombang revolusi sosial selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan menyisakan kepiluan keluarga aristokrat Surakarta, wirausaha kerajaan tradisional ini patut dikenang.
Dewasa ini, sanggup ditengok segenap warga Boyolali di dataran tinggi masih merengkuh perkebunan teh. Besar kemungkinan tradisi berkebun teh menjalar dalam badan leluhur mereka dari era kerajaan.
Ya, selagi kita bertekun budidaya teh, bangsa Indonesia tak perlu impor. Justru ada kemandirian di sini. Soal rasa, teh negeri ini juga tak kalah enak. Kahanan tersebut menjadikan pujian serta ketenangan jiwa. Tanpa impor, makin nikmat kala kita memesan wedang teh kebo njerum (kerbau berendam di air), yaitu teh dengan gula watu yang dibiarkan menggeletak tanpa diusik oleh sendok.
Heri Priyatmoko dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, penulis buku Sejarah Wisata Kuliner Solo
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com