Sudah Sewajarnya Senayan Direbut Pengusaha

Sudah Sewajarnya Senayan Direbut PengusahaIqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)

Jakarta -Sewaktu masih mengontrak di akrab Bandara Jogja, kami punya tetangga. Bambang, namanya. Umurnya sekitar 30-an. Orangnya pendiam. Pekerjaannya wallahualam.

Dia memang pernah punya wartel, tapi kita tahu mainan itu nggak mempunyai kegunaan lagi semenjak wabah seluler. Lalu ia menjaga mesin fotokopi. Ya, aku bilang menjaga, bukan mengoperasikan, alasannya benda satu itu pun entah sebesar apa keuntungannya kalau mangkalnya bukan di depan kantor kelurahan, rumah sakit, atau samsat.

Kami yang pendatang ini nyaris nggak kenal Bambang, kecuali tahu sama tahu alasannya tiap ketika kami lewat di depan warung fotokopiannya, dan menyapa meski sekadar "guk!".

Bambang yang paling sering terlihat dalam posisi duduk sendirian di depan warungnya, jarinya pegang rokok, dan tampak kadang termangu itu, juga selalu mengangguk, membalas sapaan kami. Tanpa senyum sama sekali.

Namun tiba-tiba, semua berubah drastis. Senyum itu risikonya muncul mendadak di wajah Bambang. Setidaknya di spanduk yang melintang di atas jalan desa, juga di foto keren berjas-dasi yang bertengger di beling belakang kendaraan beroda empat Panther bau tanah milik bapaknya.

Di bawah foto itu berjajar tiga kata yang gagah: Jujur, Santun, Amanah.

Tak cuma itu, Bambang juga mengasong senyumnya ke rapat-rapat RT, pengajian-pengajian, sambil mencoba abai dengan wajah heran orang-orang yang menggumam, "We lha orang ini tu siapa e? Kok tumben...."

Ya. Itu saat-saat menjelang Pemilu 2009.

Saya membayangkan, sebelum hari-hari itu tiba, bapaknya bilang ke Bambang, "Mbang, ketimbang kau nganggur nggak terang gitu, sana maju saja nyalon DPRD Sleman. Bapak bisa cari pemberian hingga 50 juta. Itu kendaraan beroda empat itu digunakan saja buat kampanye, Mbang."

Bambang (tentu bukan nama sesungguhnya, absurd apa?) risikonya memang gagal duduk manis di salah satu dingklik dalam gedung DPRD Sleman. Tapi ia menjadi salah satu dari ribuan pelajaran berharga bagi para pencari kerja, dan bagi siapa pun yang ingin meningkatkan kadar efek sosialnya.

Inti mutiara hikmahnya: jangan pernah berani-beraninya kau nyebur ke bursa calon wakil rakyat kalau cuma punya duit 50 juta, dan kendaraan beroda empat yang kau pakai buat kampanye pun cuma kendaraan beroda empat tua.

Itu kesimpulan yang sangat masuk akal, dan sudah mengalami pengujian di lapangan berkali-kali.

***

Menjadi "wakil rakyat" yaitu mobilitas dahsyat. Posisi sosial seseorang meningkat, posisi strategisnya sebagai pihak yang bisa mempengaruhi kebijakan ini dan itu melejit pesat. Belum lagi, ini yang paling penting: saluran atas anggaran.

Profesi (eh, benar ini profesi, kan?) anggota legislatif yaitu kesempatan emas untuk melipatgandakan derajat sosial dan tentu saja derajat ekonomi.

Dengan posisi demikian, ia mengakibatkan dampak pada kurva penawaran dan permintaan. Peminatnya banyak, persaingan untuk memperebutkan lapangan kerja yang satu itu pun sangat ketat. Dengan persaingan yang ketat, posisi konsumen menguat hebat.

Konsumen di sini setidaknya ada dua. Pertama, parpol yang akan menjadi kendaraan bagi si bakal calon legislatif. Kedua, para calon pemilih.

Dengan posisi tawar konsumen yang berpengaruh tadi, mereka bisa bersikap semau-maunya. Parpol terang menetapkan "mahar pendaftaran". Nilainya hanya Tuhan dan ketua partai yang tahu. Adapun para calon pemilih nantinya bisa berkata dengan enteng, "Mas, kalau di sini, pasarannya untuk kabupaten itu ya 200-an per kepala. Untuk provinsi minimal ya 100-an. Untuk sentra 50-an lah. Syukur-syukur 70."

Maka, bayangkan. Kalau Anda mau maju sebagai caleg pusat, untuk "bingkisan" ke warga saja sudah habis berapa. Di Dapil DIY pada pileg lalu, untuk meraih satu dingklik di Senayan seorang caleg mesti mengumpulkan minimal 65 ribu suara. Artinya, kalikan saja angka itu dengan 50 ribu rupiah.

Sistem bitingan (biting: lidi) alias hitung per kepala sudah sangat jamak berjalan. Memang tidak harus semua calon pemilih dirayu dengan bitingan. Ada yang borongan per kampung, dengan transaksi pembangunan akomodasi publik tertentu. Tapi meski cuma separuh saja dari total bunyi yang digarap dengan model bitingan, silakan hitung berapa M yang mesti keluar untuk itu.

Itu gres ke warga calon pemilih. Belum gelaran program kampanyenya, juga rapat-rapat timsesnya. Belum sumbangan rupa-rupa, mulai renovasi masjid hingga pengadaan kendaraan beroda empat ambulans yang memajang wajah si caleg (tentu saja dengan kendaraan beroda empat gres, bukan Panther bau tanah macam punya bapaknya Si Bambang). Belum lagi biaya saksi-saksi. Ada ratusan TPS yang harus dikawal, dan saksi-saksi untuk tiap caleg, khususnya di tempat non-basis, harus disuplai oli yang cukup.

Belum lagi yang paling panas yaitu ongkos pengamanan suara. Bukan belakang layar lagi kalau di tingkat kecamatan alias PPK, sering terjadi jual beli suara. Para caleg yang sudah niscaya gagal akan dibeli suaranya, semoga si caleg yang hampir sukses bisa semakin memantapkan peluangnya. Beli suaranya ke siapa? Ya ke si caleg gagal, juga ke pihak-pihak lain yang bisa mengambil keputusan dalam transaksi-transaksi hitam menyerupai itu.

Pendek kata, ada M-M-an uang yang mesti disiapkan seseorang sebagai modal untuk maju sebagai caleg pusat. Ada juga sih yang benar-benar mengandalkan popularitas, tanpa pakai bitingan, tapi jumlahnya jauh dari dominan. Selebihnya, mekanisme-mekanisme transaksional yang berjalan.

***

Dari semua citra itu, muncul pertanyaan terpentingnya: siapa yang punya saluran ke duit M-M-an? Apakah penjaga mesin fotokopi yang kekurangan pelanggan macam Si Bambang? Atau penulis kolom mingguan merangkap pengisi bahan di kuliah-kuliah Whatsapp? Atau siapa?

Jangan ngelindur yang enggak-enggak. Satu-satunya golongan yang punya saluran modal sebesar itu yaitu kaum pengusaha! Siapa lagi? Cuma merekalah yang punya duit superjumbo, atau minimal bisa mengakses pemberian duit yang jauh lebih jumbo.

Memang ada nama-nama yang sukses jadi caleg terpilih alasannya soal lain. Misalnya alasannya ia anak tokoh politik atau anak jendral. Tapi silakan periksa, ada berapa bisnis yang menjadi tambang uang milik si tokoh politik dan si jendral tadi. Dengan kata lain, pada hakikat paling mendasarnya, mereka itu ya pengusaha juga haha.

***

Melihat realitas politik berbiaya super-tinggi begini, aku malah jadi heran sendiri, kenapa kau dan kamu, dan juga kamu, masih saja mengeluh melihat bahwa komposisi calon penghuni gres Senayan nanti nyaris didominasi para pengusaha?

Kabar terakhir memang menyatakan begitu. Sebanyak 262 dari 575 anggota dewan perwakilan rakyat yaitu para pengusaha. Hampir setengah isi Senayan yaitu pengusaha. Mereka terafiliasi ke dalam 1.016 perusahaan yang bergerak di banyak sekali sektor.

Banyak pihak berteriak. Mulai media, hingga para aktivis. Semua teriakan itu wajar. Toh tugas sebagai pengusaha memang akan mengakibatkan konflik kepentingan dalam kerja-kerja para anggota legislatif, dan dikhawatirkan si anggota legislatif akan lebih mendahulukan kepentingan pribadinya sebagai pengusaha.

Masalahnya, betulkah itu memang sesuatu yang "dikhawatirkan"?

Hehehe, nehi. Kita sudah cincay bahwa konflik kepentingan menyerupai itulah yang sengaja dicari, atau dicari-cari. Sebab dari situlah peluang konsesi politik terbuka lebar, juga peluang bagi anggota dewan untuk bertransaksi demi pengembalian modal kampanye yang terlalu tinggi.

Ujung-ujungnya, lagi-lagi publik berteriak kencang sekali: kenapa para pengusaha yang jadi penghuni Senayan? Kenapa?

***

Sayangnya, teriakan publik itu cuma dilemparkan ke hilir, ketika semua caleg sudah kadung terpilih dengan manis dan dengan kedudukan yang tak mungkin tergoyahkan. Publik lupa bahwa mereka sendirilah yang menentukan para caleg pengusaha. Dan, yang lebih fundamental di antara yang dasar: publik pula yang tidak pernah mempersoalkan sedari awal betapa sungguh tidak masuk akalnya nilai rupiah yang dihabiskan para caleg sebagai biaya.

Hilir dan hilir duduk perkara melulu, tidak ada yang berteriak hingga ke hulu. Tidak ada yang menggugat bagaimana bisa terbentuk proses politik semahal ini, bagaimana prosedur sebusuk ini terus bertahan hingga hari ini, juga bagaimana cara menghentikan semua ini.

Lalu mau hingga kapan terus dan terus begini?

Kalau kita tidak segera memutus mata rantainya, dengan mencari formula semoga prosedur perebutan dingklik tidak memakan biaya dalam nilai yang luar biasa seramnya, maka tak usahlah sok-sokan mengeluh lagi jikalau kelak warga Senayan benar-benar 100% pengusaha semua.

Iqbal
Aji Daryono esais, tinggal di Bantul


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel