Memutus Peluang Pemburu Rente Kuota Impor Pangan
Jakarta -
KPK meminta biar rencana impor bawang putih tahun ini sanggup ditinjau lebih matang sehubungan dengan tertangkap lembap salah satu anggota dewan perwakilan rakyat yang diduga berpengaruh meminta fee Rp 3,6 miliar dan Rp 1.700-1.800 tiap kg dari total kuota 20 ton bawang putih yang dibantu anggota dewan tersebut urusan izinnya. Suap itu diduga berasal dari pihak swasta yang berkepentingan untuk mendapat kuota impor tersebut. KPK menyatakan duit yang sudah diberikan ke oknum anggota dewan perwakilan rakyat tersebut berjumlah Rp 2 miliar. Duit itu ditransfer lewat rekening money changer.
Modus tindak pidana korupsi di bidang impor pangan yang telah terungkap yaitu dukungan suap kepada pejabat negara oleh pengusaha impor dengan tujuan untuk mempengaruhi kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki pejabat tersebut biar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan si pemberi suap. Bentuk kebijakan yang dipesan itu ibarat izin masuk dari negara importir baru, tetapkan kuota impor tertentu, mengatur harga dasar impor produk pangan, mengatur harga jual produk impor di masyarakat, dan lain-lain kebijakan yang semuanya mengusung kepentingan pihak-pihak yang memberi suap dan rente.
Tentu anggota dewan perwakilan rakyat mustahil sanggup melaksanakan itu sendiri. Yang mengeluarkan aturan-aturan tersebut yaitu kementerian teknis. Maka hampir sanggup dipastikan dugaan korupsi tersebut juga akan melibatkan pejabat penting di kementerian-kementerian yang mengatur kebijakan impor bawang putih, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan). Sampai hari ini dua kementerian yang berwenang tersebut sudah ikut digeledah oleh KPK, tepatnya ruang Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dan ruang Dirjen Hortikultura Kementan.
Telah menjadi fenomena yang umum di negara-negara berkembang bahwa inspirasi perlindungan petani dan keberpihakan pada kepentingan domestik menjadi kamuflase kebijakan-kebijakan perburuan rente (Mobarak dan Purbasari, 2006). Isu wacana kemandirian, nasionalisme, dan perlindungan petani yaitu tampak depan dari panggung politik. Sedangkan kepingan belakangnya yaitu hasil lobi industri dan pengusaha untuk kepentingan bisnis kelompok dan personal. Proteksi menjadi alat tunggangan untuk menghadirkan kontrak dan akad haram antara pengusaha dan penguasa untuk memperlihatkan lisensi perdagangan (trade license) ibarat kuota pasar, izin impor materi baku, dan bermacam-macam bentuk keberpihakan kebijakan kepada perusahaan tertentu.
Motivasi yang melatarbelakanginya yaitu berburu mega-rente yang nilainya sangat luar biasa, atau sebab kepentingan bisnis kroni dan keluarga. Proteksi secara retorika ditujukan untuk membangun atau melindungi industri nasional, tetapi dalam realita implementasinya yaitu untuk melindungi atau mengistimewakan bisnis personal atau kelompok tertentu. Dampaknya, masyarakat umum dirugikan.
Jadi jika pemerintah ingin mencegah korupsi ibarat dalam masalah OTT bawang putih tersebut tidak terulang dan kebijakan impor tersebut sanggup menstabilkan harga pangan, maka solusi pentingnya yaitu mencabut kebijakan kuota impor pangan. Kebijakan kuota impor itu menjadikan barang impor gagal menekan harga domestiknya. Karena untuk mendapat izin kuota tersebut sang importir harus memberi imbalan pada pejabat terkait sebesar margin tertentu dari total kuota yang akan diterimanya terkait pengeluaran izin. Tentu semua pengeluaran untuk membayar fee dan rente para pejabat tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan menjadi kepingan dari biaya transaksi impor pangan. Dampaknya harga komoditas pangan impor tersebut tetap tinggi walaupun impor telah dilakukan dengan jumlah yang besar.
Kebijakan kuota impor terbukti tidak menguntungkan konsumen dan produsen dan dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin berburu rente. Dugaan berpengaruh kebijakan ini tetap eksis hingga hari ini sebab kepentingan tersembunyi yang antipublik --kepentingan berburu rente dengan menjual izin impor. Presiden Jokowi seharusnya sanggup segera mengoreksi dan mengganti semua kebijakan kuota impor produk-produk pertanian dengan kebijakan tarif impor jika ingin mengatasi duduk masalah harga-harga pangan yang menyulitkan rakyat, sekaligus meminimalisasi agresi berburu rente pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kebijakan tarif impor itu maknanya sederhananya mengizinkan siapa saja yang mau impor pangan. Tidak perlu izin dari Kemendag dan Kementan selama mereka bayar tarif/pajak impor. Lalu bagaimana pemerintah mengontrol impor biar tidak merugikan petani domestik? Parameternya yaitu harga komoditas pangannya. Kalau harga pangan yang ditarget turun, maka impor disetop sama sekali. Kalau barang langka, maka impor dibuka kembali ke semua importir.
Selama ini pemerintah memilih kuota impor. Untuk mendapat kuota tersebut para importir harus mendapat izin dari Kemendag dan Kementan. Lisensi untuk mendapat kuota inilah yang menjadi pintu masuk power politik dalam memilih kuota impor. Dan, berdampak kuota ini sanggup dijual kepada pihak-pihak yang berani memperlihatkan rente yang paling menarik bagi oknum pengambil kebijakan (oknum dewan perwakilan rakyat dan oknum pejabat pemerintah terkait). Ini yang menghadirkan peluang korupsi. Kebijakan kuota impor ini harus diganti dengan kebijakan tarif impor biar peluang berburu rente yang mengikutinya menjadi hilang.
Dr. Andi Irawan Lektor Kepala pada Program Studi Pascasarjana Agribisnis Universitas Bengkulu