Untung Esemka Bukan Kendaraan Beroda Empat Nasional
Jakarta -
Akhirnya kendaraan beroda empat Esemka diluncurkan, dan Presiden Jokowi turut menyaksikan program peluncurannya. Yang menarik untuk dicatat ialah pernyataan presiden pada ketika peluncuran tersebut ialah bahwa kendaraan beroda empat Esemka ini diproduksi oleh PT Solo Manufaktur Kreasi yang merupakan perusahaan nasional yang sepenuhnya dimiliki swasta. Namun, ditegaskan bahwa kendaraan beroda empat Esemka ini bukan "mobil nasional".
Tak ada klarifikasi perihal apa yang dimaksud dengan "mobil nasional", dan apa implikasinya kalau kendaraan beroda empat Esemka ini bukan kendaraan beroda empat nasional.
Jika pernyataan "mobil Esemka bukan kendaraan beroda empat nasional" berarti kendaraan beroda empat ini bukan produk dari kebijakan pemerintah, tidak dibiayai pemerintah, tetapi murni inisiatif swasta, maka ini patut disyukuri. Karena ini berarti lapangan kerja terbuka bagi sekian ratus orang tanpa pemerintah perlu mengeluarkan dana sepeser pun.
Membangun industri, lebih-lebih industri otomotif yang berhadapan atau bersinggungan dengan perusahaan-perusahaan yang sudah puluhan tahun malang-melintang bukanlah hal mudah. Ini membutuhkan investasi besar, kemampuan teknologi, serta jejaring dengan industri pemasok komponen yang ada alasannya ialah industri otomotif manapun tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan komponennya sendirian.
Ini bukan berarti intervensi pemerintah dalam pengembangan industri tidak diperlukan. Justru sebaliknya. Kajian terhadap perkembangan industri berbasis teknologi di Israel dan negara-negara Asia Timur, menyerupai Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok menawarkan pentingnya tugas intervensi pemerintah.
Ketika kemampuan teknologi industri nasional masih lemah, dan daya beli dan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi nasional masih rendah pula, pasar tidak bisa diharapkan serta-merta akan mengubah itu semua. Intervensi pemerintah diharapkan untuk mengisi kekosongan yang tidak bisa dipenuhi oleh prosedur pasar.
Yang patut disadari, pihak yang berada di garda terdepan kemajuan industri berbasis teknologi tetap sektor bisnis. Hal ini sangat disadari oleh negara-negara yang berhasil memajukan industrinya melalui intervensi pemerintah yang besar. Mereka tetap melaksanakan apa yang disebut kebijakan teknologi yang merangsang pasar (market-stimulating technology policy). Pasar harus dirangsang dan ditumbuhkan semoga nantinya kegiatan litbang bisa dilakukan secara berdikari oleh pelaku-pelaku bisnis.
Pemerintah membantu sektor bisnis melalui struktur pendukung (supporting structure), yang terdiri dari banyak sekali fungsi, menyerupai penyediaan stok pengetahuan (oleh universitas dan forum litbang), SDM (oleh universitas), pendanaan (oleh modal ventura pemerintah), sarana pengujian (oleh forum pengujian pemerintah), dan kebijakan pemerintah yang berupa bauran kebijakan (policy mix).
Struktur pendukung tidak hanya forum yang dimiliki pemerintah, asosiasi bisnis, dan akademi tinggi. Swasta juga bisa mengambil peran. Namun, bukan hanya keberadaan struktur pendukung yang penting, tetapi juga kualitas dan intensitas aktivitasnya, serta bagaimana mereka berinteraksi dan bertransaksi dengan sektor bisnis. Hal ini perlu diperjelas semoga sektor bisnis bisa tahu dan gampang dalam mengakses banyak sekali layanan dari struktur pendukung ini.
Pemerintah perlu memastikan semoga struktur pendukung memenuhi fungsinya sebagai pendukung bagi industri, bukan sebagai sentra kemajuan industri itu sendiri. Sementara forum litbang dan universitas bisa mengambil tugas penting dalam mengeksplorasi potensi-potensi pemanfaatan ilmu dan teknologi, harus disadari pula ada bab pengembangan teknologi yang tidak bisa dilakukan oleh mereka. Ada perbedaan fundamental antara hasil laboratorium dengan luaran skala produksi.
Kebijakan industri berbasis teknologi harus mempertimbangkan penemuan kewirausahaan (entrepreneurial discovery). Melalui banyak sekali upaya bisnis yang sarat pertaruhan, wirausahawan berupaya dan bisa mengenali celah-celah peluang dalam industri yang sudah mengglobal.
Sebagai negara berkembang, sulit bagi Indonesia untuk membangun industri yang sama sekali baru. Kita harus membangun dalam jejaring rantai nilai global (global value chain) yang ada. Kita harus memanfaatkan apa yang tersedia, dan mencari peluang yang tidak berkonfrontasi pribadi dengan kekuatan bisnis yang lebih besar.
Perusahaan sebesar dan seinovatif Apple saja mengambil manfaat dari pasokan komponen dari banyak sekali perusahaan negara lain, dan meng-outsourcing-kan kegiatan produksinya di negara lain pula. Jadi, bukan persoalan, dan terperinci bukan aib, jikalau suatu industri masih tergantung dari pasokan komponen dari negara lain. Yang penting bagaimana nilai tambah dibentuk dan laba bisa diperoleh dengan memanfaatkan banyak sekali sumber daya yang tersedia baik internal maupun eksternal, baik nasional maupun internasional.
Celah penemuan bisnis ini sulit untuk bisa ditemukan oleh pihak-pihak yang tidak berhadapan dengan pasar dan mempertaruhkan sumber daya dan upayanya. Jadi, pemerintah perlu memastikan kolaborasi sektor bisnis dan struktur pendukung ini, dan menempatkan tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya.
Ikbal Maulana peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia