Menggali (Kembali) Gosip Kependudukan
Jakarta -
Salah satu poin yang tertuang dalam pidato "Visi Indonesia" oleh Presiden terpilih Joko Widodo pada 14 Juli kemudian ialah pembangunan sumber daya manusia. Berdekatan dengan itu tercatat beberapa momentum yang sangat erat kaitannya dengan pembangunan insan khususnya bidang kependudukan. Pertama, perayaan Hari Keluarga Nasional 29 Juni yang kali ini puncaknya dilaksanakan pada 3 Juli. Kedua, peringatan Hari Kependudukan Dunia pada 11 Juli. Dan ketiga, Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli.
Isu terkait kependudukan memang tidak begitu menarik kalau dibandingkan dengan warta ekonomi. Padahal, warta kependudukan merupakan salah satu fondasi untuk mewujudkan ekonomi yang maju dan berdaulat. Bahkan, tanpa disadari banyak pihak, pada rentang 2020–2024 Indonesia berada dalam kondisi yang sangat menguntungkan secara struktur kependudukan. Tiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) hanya menanggung sekitar 45 penduduk belum dewasa dan lansia. Periode ini merupakan puncak bonus demografi yang hanya dialami sekali saja oleh tiap negara. Kondisi ini sering disebut dengan istilah the window of opportunity.
Tentunya banyak syarat dalam mengoptimalkan peluang atau the window of opportunity ini untuk ditransformasi menjadi laba secara ekonomi. Pembangunan sumber daya insan yang tangguh dan berkualitas disertai dengan investasi dan makin luasnya tugas wanita di pasar kerja menjadi beberapa syarat utama.
Kesetaraan gender dalam pembangunan insan juga semakin membaik. Terlihat dari meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). IDG menunjukkan bahwa tugas wanita di sektor ekonomi dan politik semakin membaik. Sedangkan IPG sendiri menunjukkan perbandingan antara IPM pria dan IPM Perempuan. Bahkan, kalau dilihat komponen pendukungnya, angka cita-cita usang sekolah wanita telah melampaui laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan menikmati pendidikan antara wanita dan pria ke depan telah setara.
Terkait investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang Kuartal I-2019 sebesar Rp 195,1 triliun. Angka ini tumbuh 5,3 persen dibanding capaian tahun sebelumnya sebesar Rp 185,3 triliun. Secara keseluruhan, pertumbuhan investasi ini melambat dibanding capaian tahun kemudian yang tercatat tumbuh 11,8 persen. Sedangkan investasi penanaman modal gila mencapai Rp 107,9 triliun atau tumbuh negatif 0,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan investasi tak lepas dari kepercayaan diri pelaku bisnis pada iklim dunia perjuangan di Tanah Air. Menurut data Bank Dunia mengenai fasilitas berbisnis pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari 190 negara. Posisi ini memang lebih baik dibanding 2016 yang tercatat pada posisi ke-109. Berdasarkan laporan tersebut, hambatan utama masih terkait permasalahan klasik dengan berkutat pada perizinan yang berbelit-belit.
Keinginan untuk menarik investasi harus dijaga secara nyata dan semestinya bukan merupakan hal yang tidak mungkin bagi kita. Indonesia mempunyai modal yang penting dalam hal ini, yakni peringkat layak investasi. Penilaian ini setidaknya diberikan oleh tiga lembaga, yakni Fitch, Moody's, dan Standard & Poor's.
Namun demikian, kita juga masih perlu mengantisipasi imbas dari faktor luar khususnya perkembangan perekonomian China dan Amerika Serikat. Biro Statistik China gres saja melaporkan data pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2019 yang tumbuh 6,2 persen, terendah sepanjang 27 tahun terakhir. Tentunya kondisi ini akan berdampak secara eksklusif maupun tidak eksklusif terhadap perekonomian dan investasi yang masuk ke dalam negeri.
Selanjutnya mengenai tugas wanita di pasar kerja. Laporan Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita gres mencapai 55,5 persen per Februari 2019. Kondisi ini membaik dari periode 2009 yang tercatat 51 persen. Namun demikian, kalau kita telusuri lebih dalam, wanita yang bekerja masih didominasi pada sektor informal. Hal ini juga ditopang dari budaya di negara-negara berkembang yang ada sebelumnya bahwa pria secara umum memang diposisikan sebagai pencari nafkah (bread winner). Sedangkan wanita lebih cenderung untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarga yang utamanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga tak heran kalau faktanya hampir 25 persen pekerja wanita berstatus sebagai pekerja keluarga (Survei Angkatan Kerja Nasional, Februari 2019).
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia juga masih didominasi pekerja dengan pendidikan yang kurang memadai. Lebih dari 58 persen pekerja di Indonesia paling tinggi berpendidikan sekolah menengah pertama dan sederajat. Namun catatan lain menunjukkan pada 2018 Indonesia menerima peringkat 36 dari 137 negara mengenai indeks daya saing. Posisi ini naik lima peringkat dari posisi 41 pada tahun sebelumnya. Sebagai catatan, laporan dari World Economic Forum ini memakai ukuran usang tanpa memasukkan industri 4.0. Tentu ke depan tantangannya terang makin berat kalau melihat profil ketenagakerjaan kita yang didominasi pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah dan berada di sektor informal.
Melihat aneka macam capaian yang ada, masih banyak hal yang perlu kita kejar. Khususnya untuk mengoptimalkan dan mentransformasi bonus demografi menjadi bonus ekonomi. Pembangunan kependudukan, dalam hal ini pembangunan insan perlu menerima perhatian serius. Pembangunan insan harus dimulai dari masa janin sampai dewasa, dari 1000 hari pertama kehidupan. Pemerintah pun masih perlu mengatasi permasalahan stunting dan perkawinan anak.
Walaupun demikian, penelitian dan proyeksi ke depan dari aneka macam institusi patut mengakibatkan kita berbesar hati. Misalnya saja Pricewaterhouse Coopers, Economist Intelligence Unit, dan firma konsultan McKinsey memproyeksi Indonesia akan menjadi negara maju dalam hal ekonomi sebelum 2045. Proyeksi perekonomian pada 100 tahun kemerdekaan nanti bahkan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke lima dunia, mengakibatkan kita harus tetap optimistis untuk memperjuangkan masa depan.
Wiji Nogroho statistisi di BPS Kabupaten Semarang