Menara Bengung, Sirine Peninggalan Belanda Di Kota Magelang

Menara Bengung, Sirine Peninggalan Belanda di Kota MagelangFoto: Eko Susanto/detikcom

Magelang -Di Kota Magelang terdapat banyak bangunan peninggalan zaman Belanda yang hingga kini masih berdiri kokoh. Salah satu peninggalan tersebut yakni bangunan Menara Bengung atau sirene.

Warga masyarakat menyebut Menara Bengung alasannya ialah dulu kalau sirine berbunyi mengeluarkan bunyi mendengung atau berdengung.

Bangunan Menara Bengung ini berada di bersahabat perkampungan warga. Lokasi menara tersebut berada di empat daerah yang berbeda. Pertama, sirene ini diletakan di atas menara air minum atau water torn di Alun-Alun Kota Magelang.

Kemudian berikutnya di sebelah selatan bangunan Plengkung Lama, terus di atas kanal Kali Kota Kemirirejo dan Potrosaran. Namun demikian, dari empat menara bengung tersebut, kini tinggal tiga. Sedangkan yang satu di selatan Plengkung Lama telah hilang.

Pegiat KOTA TOEA Magelang, Bagus Priyana mengatakan, ketika itu menara bengung atau sirene dibangun pemerintah Kota Magelang atau Staadsgemeente Magelang sesudah Merapi meletus tahun 1930. Saat Merapi meletus pengaruh dan banyak pengungsi yang dari sekitar Merapi hingga di Kota Magelang.

"Saat itu, pemerintah berupaya untuk sedini mungkin menunjukkan peringatan, semacam peringatan dini kepada masyarakat akan adanya bencana. Pemerintah ketika itu, menciptakan semacam penanda yaitu berupa sirene. Staadsgemeente Magelang menciptakan sistem penanda berupa sirene, di mana sirene ini terpusat di atas water torn (Alun-Alun Kota Magelang)," kata Bagus ketika ditemui di bawah menara bengung di Potrosaran, Kota Magelang.
Menara Bengung, Sirine Peninggalan Belanda di Kota MagelangFoto: Eko Susanto/detikcom

Menara bengung dari atas water torn tersebut, katanya, dialirkan dengan kabel menuju unit sirene yang berada di Kemirirejo, Plengkung Lama dan Potrosaran ini.

"Ketiga-tiganya berada sempurna di atas tanggul kali kota. Dipilih di lokasi ini alasannya ialah posisinya lebih tinggi dari tanah sekitar atau perkampungan sekitar sehingga apabila dibunyikan dari pusatnya menara air minum (water torn), seketika sirene akan terhubung secara langsung," tuturnya.

Fungsi sirene tersebut, kata dia, ada tiga. Pertama untuk penanda kalau terjadi peristiwa Gunung Merapi, sehingga masyarakat sanggup mengetahuinya. Kedua, penanda apabila terjadi perang. Untuk fungsi ketiga sebagai penanda jam malam. Sebab pada tahun 1942-1945, Jepang memberlakukan jam malam mulai pukul 19.00-06.00 WIB.

"Menara bengung berfungsi, pertama untuk penanda ada peristiwa Gunung Merapi, sehingga masyarakat sanggup siap. Berikutnya, apabila dulu ada perang. Ketiga, di zaman Jepang tahun 1942-1945, Jepang memberlakukan jam malam berlaku mulai sekitar pukul 19.00-06.00 WIB. Setelah itu, dibunyikan pagi hari, penanda bahwa jam malam sudah final diberlakukan," kata dia.

Dari keempat sirene tersebut, untuk ketika ini tinggal tiga, sedangkan yang berada di Plengkung Lama telah hilang. Pihaknya menyayangkan sekali hilangnya satu sirene yang berada di Plengkung Lama mengingat bangunan ini bernilai sejarah.

"Dari empat sirene ini, di water torn masih ada, terus di Potrosaran masih ada, di Kemirirejo masih ada, tetapi yang di selatan Plengkung Lama hilang kira-kira sekitar 8 atau 10 tahun yang lalu. Sangat sayang sekali alasannya ialah ini bukan hanya alasannya ialah bentuknya terbuat dari besi, bertingkat, dari segi sejarah penting. Karena beliau (menara bengung), menjadi potongan penanda kota, maka masyarakat menyebutnya menara bengung," ujarnya.

Untuk menara bengung di Potrosaran, kondisi tiang penyangga dari besi telah berkarat. Bahkan ada yang mulai aus dan bawah menara bengung di Potrosaran ini sering dipakai untuk acara warga menyerupai berolah raga.

Sementara itu, ES Wibowo, warga Potrosaran 2 Kota Magelang mengatakan, bawah menara bengung sering dipakai untuk beraktivitas warga masyarakat. Keberadaan menara bengung tersebut menginpsirasi Paguyuban Gunung Tidar dan masyarakat Potrosaran untuk melaksanakan acara budaya.

"Menara bengung itu berada di bantaran Kali Kota, sepanjang 5 km dari Pucang hingga Jagoan. Keberadaanya menginpirasi Paguyuban Gunung Tidar dan warga masyarakat Potrosaran untuk melaksanakan acara budaya, kesenian," kata ES Wibowo yang penyair itu.
Menara Bengung, Sirine Peninggalan Belanda di Kota MagelangFoto: Eko Susanto/detikcom

Untuk perawatan katanya, yang melaksanakan warga sekitar Potrosaran. Hal ini mengingat bawah menara bengung sering dipakai untuk beraktivitas warga masyarakat.

"Bawah menara kita gunakan untuk panggung yang merawat kita, terutama Padepokan Gunung Tidar dibantu oleh warga masyarakat di Potrosaran," tuturnya.

Kemudian untuk menara bengung yang berada di Kampung Kemirirejo, keberadaannya lebih terawat lagi. Tiang penyangga telah dicat dan sekitar 15 tahunan yang kemudian pada ketika detik-detik Proklamasi sirene ini dihidupkan.

"Sekitar 15 tahun yang lalu, pas detik-detik Proklamasi sirene ini dihidupkan. Warga sekitar sini mendengar suaranya, tapi sesudah korslet terus mati," kata Riatun (50), warga setempat.


Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel