Bmkg Minta Petani Pahami Perubahan Iklim Untuk Bekal Rekayasa Tanam

BMKG Minta Petani Pahami Perubahan Iklim Untuk Bekal Rekayasa TanamKepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Foto: Ristu Hanafi/detikcom

Yogyakarta -Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Yogyakarta. Sebanyak 30 penerima berasal dari Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan Pengamat Organisme Penggangu Tanaman (POPT) Kabupaten Bantul ini dibutuhkan bisa sosialisasi kepada petani semoga bisa merekayasa tanam dengan mempertimbangkan faktor cuaca.

"Sekolah lapang iklim ini dibutuhkan bisa membantu petani melaksanakan rekayasa tanam, dengan tahu cuaca, komoditas unggulan apa yang bisa ditanam. Poinnya yakni pengetahuan petani berkembang, alasannya yakni kondisi alam kita juga berkembang. Di masa kemudian belum ada perubahan iklim global yang dahsyat, kini perubahan iklim bisa mendadak terjadi. Perubahan iklim inilah yang mengakibatkan penting bagi pertani semoga memahami informasi cuaca dan iklim," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, Senin (15/4/2019).

Hal itu disampaikannya di sela pembukaan SLI Tahap II Daerah spesial Yogyakarta (DIY) BMKG, di Hotel Forriz Yogyakarta.

"Sehingga dengan pemahaman ihwal iklim dan cuaca ini, tujuannya bisa mengurangi risiko baik korban maupun kerugian ekonomi," lanjut Dwikorita.

Pembukaan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tahap II BMKG di Yogyakarta.Pembukaan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tahap II BMKG di Yogyakarta. Foto: Ristu Hanafi/detikcom

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, R Mulyono Rahadi Prabowo menjelaskan ketika ini wilayah Indonesia pada umumnya telah memasuki awal ekspresi dominan kemarau. Para petani pun dibutuhkan bisa menyesuaikan proses tanam dengan kondisi iklim.

"Kondisi pertanian ada empat faktor, bibit, lahan, air, dan faktor keempat yang tak bisa kita atur yaitu iklim. Sehingga kita perlu memanfaatkan celah-celah waktu, bila kondisi iklim kurang memungkinkan kita bisa meminialkan kerugian. Kapan itu iklim ekstrem, kapan tidak ekstrem, bila kondisi iklim kurang aman kita bisa mengatur komoditi apa yang akan kita tanam. jadi tergantung dari periode waktu, lebih panjang kemarau atau ekspresi dominan hujannya," urainya.

Data BMKG Yogyakarta, pada bulan April ini jumlah curah hujan bulanan diprediksi berkisar 101-300 mm/bulan (kategori menengah). Kondisi ini merupakan masa transisi atau pancaroba, hujan masih berpotensi muncul terutama di sore hari meskipun kisarannya lokal dan tidak merata serta tidak kontinu hujannya.

Memasuki bulan Mei, jumlah curah hujan mengalami penurunan mencapai 21-100 mm/bulan bila dibandingkan dengan April (kategori rendah). Penurunan curah hujan bulanan ini terjadi alasannya yakni di wilayah DIY sudah masuk awal ekspresi dominan kemarau.

Dan awal ekspresi dominan kemarau 2019 untuk wilayah Yogyakarta sebagian besar mengalami kemunduran dari normalnya (75 persen). Sedangkan sisanya sama dengan normalnya (25 %). Awal ekspresi dominan kemarau akan dimulai pada dasarian 3 April 2019 untuk wilayah Gunungkidul dan Bantul bab timur). Sebagian besar wilayah di DIY akan masuk awal ekspresi dominan kemarau di dasarian 1-2 Mei 2019. Dan yang terakhir masuk ekspresi dominan kemarau yakni wilayah sekitar Gunung Merapi.

Kepala Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan Bantul, Pulung Haryadi menambahkan, lebih banyak didominasi petani di daerahnya bertanam padi. Totalnya sekitar 80 persen dibandingkan komoditas lainnya.

"Yang lainnya yakni bawang merah, kedelai, jagung, dan ada sebagian tebu," ujarnya. Sedangkan untuk lahan tanam di Bantul, seluas 15.193 hektare merupakan lahan sawah.

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel