Ge(Le)Gar Teknologi Finansial

Ge(le)gar Teknologi FinansialIlustrasi: Nadia Permatasari/Infografis

Jakarta -

Teknologi finansial (financial technology/fintech) terus menjadi perbincangan. Belum reda gosip rentenir online, perhatian kini terfokus pada tingginya kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Rasio NPL untuk tenggat peminjaman di atas 90 hari, misalnya, per Februari 2019 berada di level 3,18 persen, melejit dibandingkan periode Januari yang "hanya" 1,28 persen.

Kredit dengan jangka waktu yang lebih pendek tampaknya tidak mengubah simpulan awal. Rasio proteksi tidak lancar untuk jangka peminjaman 30 hari hingga 90 hari pada periode yang sama sebesar 3,17 persen. Kedua angka di atas tetap saja masih lebih tinggi dari rasio NPL bruto pada perbankan "manual", yakni 2,59 persen.

Celakanya lagi, angka NPL tersebut hanya dihitung dari teknologi finansial resmi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apabila memperhitungkan semua teknologi finansial yang beroperasi, angka NPL pasti lebih besar lagi.

Secara teoretis, angka NPL teknologi finansial semestinya bisa jauh lebih rendah. Teknologi finansial menyediakan proteksi peer-to-peer (P2P) yang menghubungkan pemilik dana dengan nasabah. Pemilik dana paham betul sosok nasabah yang akan meminjam uang layaknya pinjam-meminjam uang antarindividu.

Kemudahan yang ditawarkan teknologi finansial menciptakan nasabah secara personal bisa bertransaksi utang-piutang tanpa agunan. Kecepatan proses pembiayaan (cukup melalui telepon genggam) ialah keunggulan lain yang ditawarkan teknologi finansial dibanding perbankan fisik pada umumnya. Dengan beberapa kelebihan ini, proteksi P2P terbukti bisa "menolong" masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk mendapat proteksi secara cepat.

Pembiayaan outstanding teknologi finansial mencapai Rp 7,05 triliun per selesai Februari, melonjak 7 kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, di balik "kecanggihan" teknologi finansial termaktub pula risiko yang tinggi. Format proteksi P2P tampaknya cuma sebatas atribut alih-alih relasional. Buktinya, perusahaan platform gagal menagih utang karena keberadaan nasabah tidak terjangkau, sehingga ongkos penagihan lebih besar ketimbang nominal utang yang diberikan.

Kenaikan NPL industri teknologi finansial juga disebabkan banyaknya pemain gres dan marketplace. Sebagai mediator, teknologi finansial membebankan risiko debitur sepenuhnya kepada kreditur. Model bisnis yang tipikal menggeserkan risiko (risk shifting) alih-alih menyebarkan risiko (risk sharing) dengan sendirinya mengundang kredit seret.

Probabilitas kredit seret kian besar menyusul regulasi OJK yang membatasi kanal data langsung peminjam. Penyelenggara teknologi finansial P2P hanya bisa mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi ponsel pandai milik calon peminjam dan calon pemberi proteksi yang tentunya sangat mensugesti objektivitas evaluasi kelayakan kredit.

Kondisi di atas diperparah oleh kenyataan hingga ketika ini Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang menaungi teknologi finansial belum mempunyai ambang batas NPL yang dianggap "wajar". Sementara besaran NPL bruto untuk perbankan fisik disepakati di level 3 persen, ancer-ancer NPL kotor untuk teknologi finansial yang normal diklaim tidak lebih dari 2 persen.

Angka manapun yang hendak dirujuk, pelaku perjuangan teknologi finansial tetap harus memitigasi risiko kredit macet. Langkah awalnya ialah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Hal ini sangat relevan mengingat aturan OJK melarang teknologi finansial menghapus buku (write off) proteksi macet. Artinya, kredit macet teknologi finansial tidak bisa 'dijual' kepada pihak ketiga.

Dengan alur kecerdikan ini pula, asosiasi teknologi finansial perlu menyusun sistem yang memungkinkan pelaku perjuangan sanggup saling bertukar informasi wacana profil debitur. Sistem ini bisa mengadopsi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) di dunia perbankan. Dengan layanan ini, satu perusahaan teknologi finansial akan terhindar dari nasabah bermasalah sebagaimana dialami sebelumnya oleh penyedia jasa teknologi finansial lain.

Alhasil, tingginya suku bunga serta NPL teknologi finansial sejatinya merupakan akumulasi permasalahan yang ada. Pokok persoalannya ialah gelegar teknologi finansial masih dianggap sebagai "produk" alih-alih sebagai "sarana transaksi" keuangan.

Orientasi sebagai "produk" membuka peluang pelaku perjuangan untuk menjual teknologi finansial dengan harga tinggi. Sebaliknya, orientasi teknologi finansial sebagai "sarana transaksi" justru akan menciptakan pelaku perjuangan untuk senantiasa mengedepankan efisiensi sebagai nilai jualnya.

Kerancuan antara "sarana transaksi" dan "produk" menimbulkan regulasi terhadap teknologi finansial yang berlaku ketika ini dianggap kurang kuat. Peraturan OJK No. 77/2016 hanya mengatur pengawasan penyelenggaraan P2P yang berstatus terdaftar atau berizin, sehingga belum bisa menjangkau kinerja teknologi finansial hingga pada level operasional apalagi hingga ada penindakan.

Oleh karenanya, penyelenggara teknologi finansial mutlak harus didudukkan sebagai forum keuangan yang wajib memenuhi persyaratan yuridis-formal. Dengan landasan aturan yang lebih kokoh, OJK bisa ikut campur dalam tata kelola jasa teknologi finansial. Merujuk pada perbankan umum, misalnya, OJK bisa melaksanakan intervensi dengan menetapkan persyaratan kepemilikan dana, peminjam, dan mekanisme peminjaman.

Jika persyaratan yuridis-formal masih dipandang sebagai kendala, sinergi kolaboratif antara perbankan manual dengan perusahaan jasa teknologi finansial agaknya menjadi solusi yang kompromistik. Integrasi keduanya (melalui merger atau akuisisi) ialah opsi yang paling menguntungkan, setidaknya untuk ketika ini.

Dari sisi permintaan, upaya menekan NPL teknologi finansial menghendaki kedalaman pemahaman konsumen atas konsekuensi yang ditimbulkan dari setiap perjanjian keuangan. Semua nasabah pasti sudah melek teknologi informasi. Tetapi, tidak semua nasabah mempunyai bekal kecukupan literasi keuangan.

Dalam perspektif yang lebih luas, banyaknya perkara yang terjadi pada teknologi finansial ialah potret kecil dari "gegar teknologi". Kenyamanan yang ditawarkan kemajuan teknologi tidak sepadan dengan perubahan mental dan intelektual yang termanifestasi pada sikap dan sikap penggunanya.

Mumpung masih dalam tahap perkembangan, industri jasa teknologi finansial perlu disediakan ekosistem yang aman biar bisa berperan lebih besar dalam perekonomian nasional. Hal ini krusial mengingat industri jasa teknologi finansial dengan beberapa sub-industri turunannya diklaim sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Sebaliknya, tanpa regulasi yang tegas dan upaya yang antisipatif, teknologi finansial dengan NPL-nya yang tinggi akan menjadi bola liar yang mengganggu sendi-sendi perekonomian. Bukankah krisis ekonomi 1997/1998 dan 2008 dimulai dari riak-riak kecil di sektor keuangan?

Haryo Kuncoro Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel