Tren Coworking Space: Penemuan Atau Isolasi Sosial?

Tren Coworking Space: Inovasi atau Isolasi Sosial?Sebuah coworking space (Foto: Istimewa)

Jakarta -
Belakangan ini di Indonesia, khususnya di kota-kota besar mulai diramaikan dengan munculnya coworking space. Jumlahnya terus meningkat pesat dalam dua tahun. Dari hanya 45 unit pada 2016, jumlah coworking space meningkat tiga kali lipat tahun lalu, menjadi 150 unit. Hingga Juni 2018, Data Asosiasi Coworking Indonesia menunjukkan, jumlah coworking space sudah sekitar 200 unit.

Coworking space merupakan sebuah daerah ibarat kantor yang dipakai secara bersama-sama oleh pekerja dari lintas perusahaan. Ruang kerja bersama ini biasanya didukung oleh sejumlah akomodasi kerja mirip meja dan kursi, wifi, dan lain-lain, persis mirip apa yang ada di kantor konvensional. Ada tiga elemen yang membedakan coworking space dengan ruang kantor konvensional, yaitu komunitas (community), kerja sama (collaboration), dan konektivitas (connectivity).

Munculnya coworking space dilatarbelakangi oleh tren anak muda yang mulai menggemari kerja-kerja kreatif, membangun perjuangan rintisan (start-up), dan tumpuan kerja yang fleksibel. Associate Director Cushman & Herald, Christopher Widyastanto menyebut perkembangan tren coworking space sebagai sebuah revolusi alasannya ialah hal tersebut mengubah cara orang bekerja menjadi lebih fleksibel dan mengatakan peluang untuk membangun networking. Utamanya, bagi mereka yang akrab dengan kehidupan kerja berbasis digital dan kreatif. Ini juga didorong oleh perkembangan teknologi.

Untuk itu biasanya coworking space tak hanya menyediakan akomodasi kantor dasar, tapi juga menghubungkan para start-up dan investor. Konsep ini mengatakan budaya kolaboratif dan kooperatif bersamaan dengan kesempatan networking, membantu membuatkan start-up. Bagi para start-up yang bergabung dalam ruang kerja bersama, saluran ke jaringan dan sumber daya yang luas ialah salah satu daya tarik terbesar.

Konon, dengan coworking space kita akan lebih gampang menemukan ide-ide kreatif, berinovasi, dan membuatkan ilham tersebut ke dalam sebuah karya. Sayangnya, tidak semua coworking space sanggup berjalan sebagaimana mestinya. Ternyata ada juga sisi gelap yang menyelimuti berdirinya bisnis coworking space.

Ricarda B. Bouncken dkk (2018) menulis The Dark Side of Entrepreneurship in Coworking-Spaces dalam sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh University of Bayreuth, Jerman. Tulisan tersebut berkesimpulan, setidaknya ada tiga poin wacana implikasi negatif dari bisnis coworking space. Yakni, social isolation and stress, eksploitasi, serta konflik dan distrust.

Isolasi Sosial dan Stres

Desain coworking space sebagai ruang kerja sama mensyaratkan adanya kerja sama dan berjejaring, Namun, pada praktiknya tidak semua komunitas mau dan berinisiatif untuk berinteraksi dengan komunitas lain yang tergabung dalam suatu coworking space. Kebanyakan dari komunitas berjalan dengan sendiri-sendiri.

Kita akan sulit menemukan komunitas yang telah berkembang dengan proyeknya akan berkolaborasi dengan komunitas yang gres saja merencanakan ide-ide kreatifnya. Walhasil, komunitas yang gres saja dalam tahap "ideation" rentan mengalami isolasi sosial dan stres karena tidak punya saluran berkolaborasi dan menciptakan projeknya layu sebelum menjadi lebih berkembang.

Di sisi lain coworking space juga menciptakan tidak nyaman, khususnya bagi komunitas yang cenderung memiliki cara bekerja yang menekankan pada tingkat fokus dan keseriusan tertentu. Lingkungan komunal sanggup menjadi tantangan, terutama dikala kebisingan dan acara dari penyewa lain menjadi terlalu mengganggu. Bagi mereka, bekerja di coworking space hanya akan menambah tingkat stres karena menciptakan mereka rawan terganggu oleh kompetisi yang tidak sehat, rekan kerja yang menjengjelkan, sampai tingkat kebisingan yang tidak sanggup mereka tolerir keberadaanya.

Eksploitasi

Coworking space memang menyediakan lingkungan yang inovatif untuk kewirausahaan yang gres lahir, perjuangan baru, dan start-up. Namun, pengusaha di coworking space harus menghadapi tantangan mirip konflik, ketidakpercayaan, atau profit yang tidak seimbang yang sanggup merusak keseluruhan ilham dari coworking space.

Pohler (2012) menyoroti risiko eksploitasi dalam coworking space alasannya ialah kekerabatan kekuasaan yang asimetris antara komunitas wirausaha yang gres lahir dan yang sudah mapan. Coworking space menyediakan peluang untuk kerja sama dan interaksi yang sanggup mengarah pada akad bisnis. Seringkali atas dalih kolaborasi, komunitas wirausaha yang sudah mapan mensubkontrakkan sebagian dari keterlibatan mereka kepada para komunitas wirausaha yang gres lahir di suatu coworking space. Mau tidak mau, komunitas wirausaha gres harus bernegosiasi untuk mendapat benefit yang masuk akal.

Selama fase awal, para komunitas wirausahawa gres sering kekurangan sumber daya dan klien. Untuk mengatasi kekurangan sumber daya itu, mereka acap bergantung pada proyek dari komunitas wirausaha yang sudah mapan untuk menciptakan keuntungan. Proyek-proyek ini tiba dengan tenggat waktu yang singkat, sehingga tidak ada waktu untuk mengevaluasi menguntungkan untuk bisnis mereka sendiri. Alih-alih membuatkan bisnis mereka sendiri, komunitas wirasuaha gres malah semakin bergantung pada mitra.

Walhasil, meskipun lingkungan coworking space konon sanggup membantu mengatasi kendala keterbatasan sumber daya dan keterampilan, tetapi pada kenyataanya sanggup memaparkan para komunitas wirausahawan gres pada risiko eksploitasi.

Konflik dan Distrust

Dalam dunia bisnis, bersama-sama konflik ialah suatu hal yang biasa, lebih-lebih kalau suatu bisnis itu digarap oleh sebuah tim atau komunitas. Konflik dianggap positif dikala mereka mengarah pada pembuatan keputusan strategis yang efektif untuk bisnis kita. Konflik yang produktif dibutuhkan supaya bisnis yang ada sanggup bergerak lebih maju. Sayangnya, tidak semua konflik yang hadir itu bersifat produktif.

Dalam tumpuan kerja dalam suatu bisnis perjuangan rintisan kerap ditemukan konflik personal antaranggota tim. Biasanya mereka berebut posisi strategis di sebuah proyek bisnis (Sapienza, 2015). Pola kerja yang masih terjebak pada tumpuan hierarkis ini juga rentan menciptakan perjuangan rintisan layu sebelum berkembang. Di sisi lain bekerja di coworking space cenderung rawan mengalami distrust antarkomunitas wirausaha. Alih-alih berkolaborasi sepertia apa yang dicita-citakan hadir dalam coworking space, mereka saling khawatir "business plan" atawa "business valuation"-nya sanggup ditiru oleh komunitas wirausaha lainnya.

Berkaca pada tiga sisi gelap yang barangkali akan dihadapi baik oleh pebisnis coworking-space maupun komunitas wirausaha rintisan atawa kreatif tersebut, sudah seyogianya menjadi materi refleksi sekaligus penilaian supaya coworking space yang ada senantiasa sanggup memfasilitasi tumbuh-kembangnya ide-ide kreatif nan inovatif.

Badrul Arifin alumnus S1 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Saat ini bekerja sebagai Knowledge Manager di Creative Hub FISIPOL UGM

Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel