Getir Histeria Pesta Harbolnas

Getir Histeria Pesta HarbolnasFoto: ist

Jakarta -

Diskon, best deal, promo, cashback, gratis ongkir, hadiah mobil, garansi orisinil atau uang kembali. Deretan frasa dan diksi itu mewarnai banyak sekali ruang di sekitar kita hari-hari ini. Mulai dari billboard dan papan reklame di persimpangan lampu merah yang selalu ramai. Juga di ruang tanpa batas yang berjulukan gawai.

Mantra-mantra pamungkas tersebut amat intens memanggil di notifikasi. Pesannya diperkuat oleh ilustrasi visual menggoda yang telah dirancang apik oleh pihak agensi yang diakui. Saban hari, bahan promosi itu kemudian lalang di banyak sekali etalase advertensi. Terutama dari aplikasi ecommerce yang terpasang gawai.

Pariwara menerangkan ada serangan gelombang pesta belanja juga muncul amat masif di laman-laman dunia maya. Dari yang kurang familiar hingga portal info populer. Media elektronik radio dan televisi juga dimanfaatkan sebagai arena berpromosi.

Untuk sukses Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), histeria diciptakan. Sumber daya dikerahkan. Energi disatukan. Selebritas Korea yang punya jutaan penggemar fanatik di Indonesia didaulat sebagai komunikator cum brand ambassador.

Pokoknya, tidak ada ruang kerumunan yang dibiarkan luput. Semua "diledakkan" demi mencipta gegap gempita perhelatan akbar Harbolnas. Puncak pesta belanja di Indonesia yang digelar setiap 12 Desember. Populer dengan numerik unik nan cantik, 12.12.

Merujuk pada data Nielsen Indonesia, total belanja iklan ecommerce sepanjang 2017 menembus angka Rp 4,6 triliun. Angka itu mengusai 63% dari total belanja iklan sepanjang tahun. Agresivitas melaksanakan belanja iklan memang sejalan dengan hasil yang dituai. Aneka godaan belanja yang berseliweran ampuh memacu masyarakat melabuhkan pilihan belanjanya ke lapak, kios, toko, hingga mal yang terpasang di gawai.

Royalitas yaitu kunci loyalitas. Pameo tersebut berlaku paten di jagat bisnis ecommerce yang terus dipacu mencatatkan rekor pertumbuhan anyar dari tahun ke tahun. Royalitas dengan spending nilai jumbo belanja iklan sektor industri digital, sejalan dengan loyalitas masyarakat mempercayakan pemenuhan kebutuhan hariannya di aneka opsi kanal berbelanja secara daring. Menurut data Nielsen, 30% dari 90% pengguna aplikasi ecommerce berbelanja setidaknya sekali dalam seminggu.

Sebagai puncak dari banyak sekali rentetan pesta belanja menyerupai 10.10 dan 11.11 yang diadopsi dari Singles Day ala China, Harbolans hendak membuktikan tuahnya. Target besar pun ditetapkan. Tahun ini, ekosistem ecommerce berambisi mencapai angka transaksi Rp 7 triliun. Besar atau kecilnya angka itu amat relatif, dari sudut mana ia ditakar.

Bila dibandingkan dengan Singles Day China, angka Rp 7 triliun terang tidak ada apa-apanya. Raksasa ecommerce China , Alibaba saja bisa membukukan transaksi Rp 450,9 triliun menyerupai dilaporkan oleh CNBC. Angka penjualan fantastik untuk total transaksi sehari. Dari satu konglomerasi, Alibaba.

Namun, bila merujuk pada standar di Indonesia, transaksi Rp 7 triliun terang angka yang menggembirakan. Tak ada momentum belanja yang bisa menyatukan energi kocek konsumen dalam rentang waktu 24 jam, memacu perputaran uang sedemikian masif dengan angka transaksi fantastik. Kecuali pada momen Harbolnas.

Tantangan

Namun, di balik gegap gempita dan histeria pesta belanja Harbolnas, ada satu tanya yang mengganjal. Hajatan nasional ini apakah ampuh memberdayakan ekonomi lokal menyerupai Alibaba berkontribusi memompa jantung pacu ekonomi mikro di China berkat ajang Singles Day? Atau, 12.12 ini sekadar mengikuti tren? Pembuktian bahwa bila China punya Singles Day dan Amerika Serikat ada Black Friday, Indonesia juga punya Harbolnas.

Fakta berikut patut jadi input, koreksi, sekaligus renungan. Bagi semua pihak yang meyakini bahwa masa depan ekonomi Indonesia yaitu ekonomi digital.

Nah, rupanya, dari sasaran transaksi Harbolnas sebesar Rp 7 triliun, hanya Rp 1 triliun yang ditargetkan dari penjualan produk lokal. Selebihnya dari produk-produk impor. Target Harbolnas tersebut seolah mengamini data-data soal dominasi produk impor di jagat ecommerce Indonesia.

Sejumlah lembaga, termasuk dari pemerintah, membeberkan data wacana fakta itu. Hanya ada sekitar 7% produk lokal yang ditawarkan di banyak sekali marketplace. Data mengejutkan tersebut disampaikan oleh Kemenko Perekonomian. Ada data lain. Kemenperin bilang, 90% produk ecommerce yaitu impor.

Kadin punya data berbeda. Menurut Kadin, 93% produk di situs online yaitu impor. Ini senada dengan Kemenko Perekonomian. Tak mau kalah, Kominfo juga menyajikan data. Katanya, 60% produk yang listing di ecommerce yaitu impor.

Di balik data-data yang tidak kompak tersebut, kita bersepakat pada satu hal. Ecommerce Indonesia didominasi oleh produk impor. Salahkah? Tentu tidak. Realitas itu terbentuk dari cara kerja pasar di masa persaingan bebas. Mekanisme ekonomi yang kita amini.

Namun, tentu getir rasanya melihat perhelatan akbar Harbolans 12.12, 11.11, 10.10 dan banyak sekali jadwal promotif untuk mengedukasi masyarakat berbelanja secara daring, justru tidak sempurna sasaran. Berbagai benefit yang ditawarkan untuk meledakkan potensi industri ini, kesannya kurang optimal dalam menawarkan manfaat terhadap pelaku ekonomi lokal.

Padahal, ecommerce yaitu peluang terbaik yang dimilik oleh Indonesia ketika ini untuk menampilkan kekuatan UKM yang kerap dibangga-banggakan. Ecommerce yaitu masa depan ekonomi Indonesia. Anak-anak bangsa pelaku ekonomi dari banyak sekali pelosok negeri mestinya naik kelas dengan memanfaatkan booming ecommerce dan ekonomi digital. Era ekonomi inklusif yang menawarkan peluang kepada siapa saja untuk ikut tumbuh bersama industri ini.

Okelah, sudah ada banyak produk yang berhasil menembus pasar global berkat penetrasi ecommerce. Namun, jauh lebih banyak produk yang kesannya kita impor untuk memenuhi dahaga konsumsi dalam negeri.

Kalau sudah begini, kita tentu tercenung. Gelombang komsumtivisme yang dihela sedemikian rupa di masa gawai nan canggih, justru tak menciptakan pelaku ekonomi lokal berada di podium tertinggi. Lantas, untuk siapa bergotong-royong kita membangun industri sarat konsumtivisme ini?

Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital




Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel