Fintech Dalam Sorotan

Fintech dalam SorotanIlustrasi: Nadia Permatasari/Infografis

Jakarta -

Perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang menyediakan jasa pinjaman online (peer to peer lending--P2P) menuai sorotan. Beberapa fintech P2P diduga melaksanakan pelanggaran, terutama dalam proses penagihan. Mulai dari pelanggaran privasi dengan mengakses data pribadi nasabah tanpa izin, pengenaan bunga pinjaman di luar kewajaran, pemerkosaan yang dilakukan oleh debt collector, hingga teror.

Tindakan-tindakan ala premanisme tersebut melanggar hukum sebagaimana tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 13/POJK.02/2018 perihal Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Dalam hukum itu di antaranya disebutkan bahwa fintech wajib menerapkan prinsip dasar dukungan konsumen. Yaitu, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan, serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dengan biaya terjangkau.

Namun, aneka macam hukum tersebut dilabrak. Terutama oleh fintech yang memang tak terdaftar di OJK. Tak ayal, debitur yang merasa dirugikan ramai-ramai mengadukan aneka macam tindakan tak menyenangkan yang mereka alami.

Pengaduan terhadap fintech pinjaman online yang dicurigai liar ini bahwasanya sudah mencuat semenjak dua tahun lalu. Data terbaru lebih mencengangkan. Setelah ada korban yang berani melapor dan bersuara di media, aduan melonjak. Kini tercatat ada lebih dari 500 aduan terhadap fintech pinjaman online. Maraknya kasus-kasus pinjaman online ini merupakan konsekuensi logis yang mengikuti spektrum primadona fintech yang semakin eskalatif.

Fintech tengah naik daun di jagat industri digital. Tak hanya memikat pebisnis lokal, namun juga bisa menyedot ekspresi dominan investor global untuk turut mengucurkan modal menghela bisnis fintech di Indonesia. Demam fintech. Istilah itu kerap kita dengar. Mengilustrasikan "booming" fintech yang melanda.

Kuatnya pesona fintech bahkan memunculkan pameo "semua akan fintech pada waktunya". Pameo yang merujuk pada fakta, bahwa aneka macam pemain drama di industri digital kini melebarkan sayap bisnisnya ke fintech. Pelaku bisnis lintas sektor industri menyerupai ride hailing, online travel agent, dan ecommerce turut menjajal fintech.

Meledaknya pertumbuhan fintech terutama dipicu oleh kebutuhan pembiayaan yang tinggi. Ini terlihat dari fintech yang didominasi oleh P2P. Dari 103 fintech yang terdaftar di OJK dan Bank Indonesia (BI) per Oktober 2018, sebanyak 73 di antaranya merupakan P2P.

Menurut OJK, kebutuhan pembiayaan UMKM mencapai angka Rp 1.700 triliun per tahun. Industri keuangan konvensional hanya bisa memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut. Artinya, fintech punya peluang menikmati masakan ringan manis bisnis sebesar Rp 1000 triliun per tahun.

Financial Stability Board membagi fintech ke dalam empat jenis menurut segmentasi bisnisnya. Yaitu, layanan pembayaran, agregator, risk and investment management, dan peer to peer lending atau pinjaman online.

Fintech Liar

Ada empat indikasi untuk mendeteksi fintech liar. Pertama, alamat tidak jelas. Fintech liar umunya tidak transparan mengenai identitas perusahaan. Alamat hingga jajaran direksi tidak pernah dicantumkan. Kedua, kurang selektif mengatakan pinjaman. Ini lantaran fintech liar tidak memperhatikan aspek kehati-hatian (prudent) dalam menjalankan bisnis.

Bagi mereka, yang penting nasabah masuk dalam jebakan utang. Kemampuan membayar nasabah, itu soal nanti. Urusannya diserahkan ke debt collector. Tak heran, aneka macam aduan yang mencuat umumnya timbul lantaran pelibatan debt collector. Ketiga, fokus pada pinjaman konsumtif. Tentu tidak semua pinjaman online yang mengatakan pinjaman konsumtif layak dicurigai sebagai fintech liar. Namun, bila ada fintech yang hanya punya satu produk, yaitu pinjaman konsumtif, maka fintech menyerupai ini perlu dipertimbangkan lagi.

Keempat, izin perjuangan meragukan. Perizinan untuk fintech sendiri terbagi dua. Fintech lending ke OJK, sedang fintech terkait sistem pembayaran diatur oleh BI. Sebelum memakai produk fintech, ada baiknya masyarakat memastikan bahwa fintech tersebut telah mendapatkan izin perjuangan yang sanggup dengan gampang dikonfirmasi di website BI dan OJK.

Untuk menghentikan agresi fintech liar, perlu ditempuh langkah-langkah tegas dan terukur. Terutama perilaku proaktif OJK dan BI, yang diikuti tindakan tegas pencabutan izin terhadap fintech nakal yang terbukti melanggar. BI sendiri sanggup pribadi menindak fintech liar, alasannya yakni ujung dari acara bisnis mereka masuk ke sistem pembayaran dan perbankan yang jadi domain BI.

Sementara, fintech liar tak berizin menjadi wilayah kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kominfo sendiri bahwasanya sudah melakukan sweeping, dan tercatat telah memblokir 341 fintech ilegal. Jumlah yang amat masif.

Selain langkah penindakan, otoritas perlu mempertimbangkan langkah-langkah preventif. Antara lain, penyederhanaan perizinan untuk mencegah munculnya fintech liar. Pasalnya, para pelaku industri fintech masih mengeluhkan soal usang dan banyaknya proses perizinan yang harus dilalui. Proses perizinan yang berlapis dan birokratis bisa jadi pemicu munculnya fintech nakal beroperasi tanpa izin atau ilegal.

Kendati dituntut menyederhakan perizinan, otoritas juga mesti lebih selektif dalam mengeluarkan izin. Ketelitian dalam mengatakan izin menjadi titik krusial. Terutama terkait izin yang pribadi bersentuhan dengan konsumen. Misalnya untuk pengembangan fitur atau produk gres yang ditawarkan, seharusnya melalui proses screening oleh otoritas sebelum dirilis ke pasar. Meskipun secara kelembagaan, fintech yang bersangkutan sudah menerima izin usaha.

Ringkasnya, otoritas harus cermat dan proporsional. Menempatkan akomodasi dan selektivitas dalam perizinan merupakan tantangan bagi regulator. Memastikan aspek kelayakan sebuah fintech beroperasi, termasuk juga soal fitur dan produk-produknya. Namun, pada ketika yang sama proses-proses perizinan tersebut tak boleh menghambat pertumbuhan fintech yang amat diperlukan untuk membuat inklusi keuangan.

Sambutan Hangat

Presiden Joko Widodo sendiri telah menegaskan pentingnya mendukung eksistensi fintech di Indonesia. Dalam pidatonya di depan Bali Fintech Forum di sela Annual Meeting IMF-Bank Dunia yang digelar Oktober lalu, Presiden Jokowi berpesan semoga fintech direspons dengan light touch. "Jadi kita harus sikapi gelombang penemuan dengan regulasi yang lembut dan ruang yang kondusif bagi inovasi," ujar Presiden Jokowi di hadapan Direktur IMF dan Bank Dunia.

Pesan presiden tersebut diterjemahkan sebagai sambutan hangat dan keterbukaan pemerintah dalam mendapatkan penemuan teknologi. Pernyataan yang berulang kali disampaikan oleh Presiden di aneka macam kesempatan dan konteks yang berbeda. Pemerintah sangat welcome dan memberi jalan yang landai bagi perkembangan anasir-anasir ekonomi digital. Sentrum masa depan ekonomi dunia yang juga didaulat sebagai referensi ekonomi Indonesia.

Sambutan terhadap fintech menyerupai diingatkan Presiden harus berpijak pada aspek keamanan dan kenyamanan stakeholder ekonomi digital. Terutama bagi pelaku industri dan masyarakat. Pasalnya, jikalau industri fintech dibelit masalah, masyarakat dan pelaku industri yang paling kena getahnya.

Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital


Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel