Menyelamatkan Lobster Kita

Menyelamatkan Lobster KitaMelepas kembali benih lobster yang gagal diselundupkan (Foto: dok. KKP)

Jakarta -Setelah dua hari berturut-turut membaca wacana penyeludupan benih lobster di Harian Kompas, perasaan saya campur aduk, terkejut, lantaran lobster sudah disamakan dengan narkoba --penyelundupannya dilakukan oleh mafia. Sedih, lantaran kita kecolongan benih lobster yang bisa mencapai nilai triliunan rupiah, angka yang sangat fantastik. Gembira, lantaran ternyata Indonesia kaya dengan benih lobster. Prihatin, lantaran yang juara memproduksi lobster negara lain, bukan Indonesia. Terakhir ngeri, lantaran benih lobster terancam punah di bumi tercinta ini. Dari berkecamuknya perasaan yang macam-macam, timbullah satu tekad, lobster harus diselamatkan!

Modus Penyelundupan

Dari apa yang dikemukakan di Kompas sudah sangat terperinci modus operandi penyelundupan Lobster. Dari sinilah saya mencoba menganalisis dari sisi yang lain, yaitu dari sisi teladan bisnis pada umumnya; ada barang, ada distribusi, dan ada pasar. Secara alami dari dulu lobster merupakan komoditas glamor dan mempunyai nilai jual/ekspor yang tinggi dan teladan bisnisnya pun ibarat itu adanya. Hanya saja dulu tidak diatur dan bebas untuk pengadaan benih lobster dengan cara menangkap benihnya, kemudian distribusi bisa secara bebas ke mana saja baik di dalam maupun di luar negeri, boleh diekspor atau dijual domestik.

Sebetulnya kalau teladan bisnis itu dilakukan secara normal, perjuangan Lobster akan sanggup menguntungkan semua pihak. Namun sifat insan yang ingin praktis dan untung banyak, maka yang dikerjakan hanya jor-joran ekspor benih lobster saja tanpa mengerjakan segmen bisnis lainnya dan ini sangat berbahaya untuk stok benih lobster, alasannya bisa punah. Kondisi inilah yang merangsang pemerintah untuk membenahi teladan bisnis lobster.

Pemerintah melarang menangkap benih lobster, tetapi tidak diiringi dengan adanya pusat-pusat benih lobster hasil pembenihan. Dengan kondisi ini, secara otomatis mematikan segmen penyediaan barang, yaitu benih lobster. Distribusi dan pasar dalam negeri juga mati, lantaran lobster tidak boleh dijual untuk dibudidayakan dalam negeri. Dengan pengaturan ibarat itu, pemerintah bermaksud baik, menyerahkan penyediaan lobster itu kepada alam, biarlah alam yang memelihara induk, benih hingga ukuran 200 gram, insan tinggal menangkap hasilnya untuk dimakan.

Maksud baik pemerintah ini seyogianya dibarengi dengan riset secara mendalam terhadap lobster, secara teknis, sosial dan ekonomi, lantaran berdasarkan para andal laju kehidupan (survival rate) benih lobster di alam hanya bisa mencapai 0,004%, sedangkan kalau dipelihara/dibudidayakan bisa mencapai 1,00%. Kaprikornus kalau dipelihara, benih lobster yang hidup bisa mencapai 250 kali lebih banyak dibanding dibiarkan di alam. Dari segi sosial penangkapan lobster merupakan budaya para nelayan, sehingga merupakan penggalan dari hidupnya. Selanjutnya dari segi ekonomi secara turun menurun penangkapan benih lobster itu merupakan mata pencaharian nelayan.

Dengan kondisi tersebut di atas, maka tidak praktis untuk para nelayan meninggalkan aktivitas menangkap benih lobster. Akibatnya walaupun tidak boleh dan dengan segala risiko, tetap saja benih lobster tersedia, apalagi bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dari sebelum dilarang.

Untuk distribusi benih lobster hingga hingga ke pasar, pemerintah banyak terkecoh dengan pelabuhan-pelabuhan bahari dan udara yang resmi, sehingga menjadi sasaran pantauan distribusi benih lobster di dalam dan luar negeri. Ini pun ada hasilnya tampaknya kata Kepala BKIPM KKP, selama 4 tahun bisa menggagalkan penyelundupan benih lobster senilai Rp 1 triliun. Tetapi jangan diabaikan, Indonesia itu banyak mempunyai "pelabuhan tikus" yang secara alami sudah ada dan dibentuk secara tidak resmi oleh yang membutuhkan untuk kepentingannya, terutama di kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara tetangga sebagai daerah transit penyelundupan. Distribusi benih lobster secara ilegal melalui pelabuhan-pelabuhan tikus ini.

Pasar dalam negeri untuk menjual benih lobster boleh saja tutup lantaran hukum tidak mengizinkan. Kondisi ini justru disambut dengan suka ria oleh pasar di negara tetangga , lantaran peluang untuk sanggup benih lobster dari Indonesia semakin besar, alasannya pasar dalam negeri sebagai saingannya sudah tutup. Mereka pinter, tidak mau terjun atas nama negara, tetapi memakai asosiasi profesional untuk mengatur supaya benih lobster dari Indonesia hingga di pasar negara mereka, sehingga pasar baby lobster di negara mereka legal dan diakui dunia. Segala risiko yang timbul, pemerintahnya tidak tersentuh.

Mereka berani membeli dengan harga tinggi, biaya distribusi yang tidak murah, serta kalau gagal dan tertangkap, negara bersih. Paling-paling personal yang terpidana dan itu pun susah dilacak hingga ke akarnya. Kondisi ini yang menciptakan gelap mata penangkap dan penakar benih lobster di Tanah Air, dan dengan ini juga mengubah image penyelundupan benih lobster menjadi bisnis yang menggiurkan. Walaupun risikonya tinggi, tetapi mendatangkan laba melimpah.

Penyelamatan Benih

Seperti telah disebutkan di atas , tidak ada kata lain untuk lobster selain harus diselamatkan. Upaya-upaya untuk menyelamatkan benih lobster berdasarkan irit saya sebagai berikut. Pertama, buat jera penyelundup lobster hingga ke akar-akarnya. Kepada mereka dan penyeludup lainnya harus ditindak dengan tegas ibarat yang telah dilakukan selama ini kepada pelaku illegal fishing; penjarakan orangnya, hancurkan sarana prasarananya, serta bekukan dan telusuri dokumen-dokumennya. Sampai pelaku-pelaku penyeludupan benar-benar jera.

Kedua, hasilkan teknologi. Indonesia harus sanggup menghasilkan teknologi untuk membenihkan dan membudidayakan lobster, sehingga selalu tersedia induk, benih, dan lobster ukuran konsumsi secara komersial yang tidak mengandalkan dari alam. Untuk hal ini Indonesia punya pengalaman dari udang windu dan bandeng, yang awalnya dianggap mahal dan tidak efisien, tetapi alhasil menjadi bisnis yang menguntungkan. Begitu juga dengan lobster, harus berani mencoba dengan sasaran Indonesia menjadi pusat benih lobster hasil budidaya.

Ketiga, izinkan menangkap benih lobster. Izinkan penangkapan benih lobster di alam untuk kepentingan Indonesia dengan sistem zonasi dan kuota ibarat yang dilakukan RMFO pada penangkapan tuna . Untuk sistem pemantauan dan hukum mainnya bisa mengadopsi yang dipakai RFMO, tinggal menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Berbarengan dengan itu, tunjuk BUMN Perikanan untuk menjadi buyer dan market tunggal benih lobster hasil tangkapan.

Keempat, izinkan budidaya lobster. Selama ini, pasar benih lobster yang berani buka hanya di luar Negeri, lantaran pasar di dalam negeri yaitu pembudidaya dilarang. Kuatnya pasar luar negeri luar biasa, walaupun sudah tidak boleh malah semakin semarak melalui distribusi ilegal yaitu penyelundupan. Oleh lantaran itu sudah saatnya pasar dalam negeri dibuka kembali dengan mengizinkan pembudidaya lobster membeli benih lobster hasil tangkapan.

Kelima, join bisnis dengan negara tetangga. Untuk menutup kanal pelabuhan-pelabuhan tikus yang bekerjasama pribadi dengan negara tetangga tidaklah mudah, lantaran butuh SDM, dana, sarana-prasarana, dan energi yang harus dikeluarkan untuk menjaganya. Oleh lantaran itu akan lebih bijaksana kalau dibuatkan join bisnis lobster dengan negara-negara tetangga yang bergerak di bidang lobster, contohnya dengan Singapura dan Vietnam. Dalam kolaborasi itu, harus ditetapkan jual-beli benih lobster dan lobster konsumsi secara legal dan terbuka, dengan kuota dan harga yang terperinci serta reward dan punishment yang tegas. Join bisnis ini untuk mengatur ekspor-impor benih lobster dan lobster sehingga menjadi legal dan menguntungkan semua pihak. Seperti join bisnis salmon yang dilakukan Norwegia dengan negara-negara tetangganya.

Keenam, road map lobster. Oleh lantaran lobster merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan, maka pemerintah harus berani menata kembali wacana perlobsteran ini, dengan mengubah dari lobster sebagai barang selundupan menjadi lobster sebagai penghasil devisa nomor dua sesudah tuna. Untuk mewujudkan hal ini, tentunya harus dimulai dari menciptakan road map lobster dari hulu ke hilir, memperhatikan faktor internal dalam negeri serta faktor eksternal luar negeri, sehingga jadilah road map yang komprehensif dan holistik untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil lobster nomor satu di dunia.

Pada alhasil panjang pantai, luas bahari dan keanekaan hayati yang dimiliki Indonesia tidak saja menciptakan kagum dunia dan euforia jargon semata, tetapi harus diiringi dengan kemampuan mewujudkan negara Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia. Lobster yakni salah satu anugerah Tuhan sebagai komoditas yang sanggup mewujudkan itu semua, tinggal tergantung kemauan kita mau hingga ke sana atau tidak. Jangan sampai kufur nikmat!

Dedy Heryadi Sutisna dosen sekolah Tinggi Perikanan



Simak Video "Sensasi Chuangki Lobster yang Bikin Menangis Kepedesan!"
[Gambas:Video 20detik]

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel