Greenpeace: Penegakan Aturan Di Bidang Lingkungan Hidup Sulit

Greenpeace: Penegakan Hukum di Bidang Lingkungan Hidup SulitFoto: Getty Images

Jakarta -Greenpeace: sampai 2018, 31 korban meninggal akhir lubang tambang kerikil bara di Kalimantan Timur. Penegakan aturan sulit dilakukan lantaran adanya keterlibatan elite politik dan pengambil kebijakan dalam bisnis tersebut.

Lembaga pemerhati lingkungan hidup Greenpeace Indonesia menandaskan, debat calon presiden putaran kedua pada Minggu (17/2) malam yang membahas tema: informasi energi, infrastruktur, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak menjawab sejumlah problem utama lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia ketika ini.

Menurut Greenpeace Indonesia, kedua capres juga mengabaikan potensi sumber energi terbarukan yang sangat besar, yang sanggup menekan porsi energi fosil pada bauran energi nasional. Yang memprihatinkan, bahkan kedua calon mengedepankan energi yang bersumber dari kelapa sawit, yang berpotensi menambah angka deforestasi.

Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menegaskan, "Capres Jokowi dan Prabowo sama-sama mendukung biodiesel ataupun biofuel dari B20 sampai ke B100. Terkait hal ini, kedua capres tidak memperlihatkan jaminan aktivitas biofuel tanpa menggerus keberadaan hutan alam, lahan gambut dan mangrove."

Berdasarkan riset Greenpeace terbaru, semenjak tahun 2015 terdapat 130.000 hektar deforestasi yang berasal dari konsesi perusahaan sawit (25 grup) di mana 41 persennya (51.600 hektar) berada di wilayah Papua. Menurut analisis data Hansen, University of Maryland 2000-2017, laju penggundulan hutan yang terjadi sepanjang 2015-2017 tercatat masih mencapai 650.000 hektar.

Dikutip dari Greenpeace, berdasarkan kajian Cerulogy, kebijakan biofuel telah membuat undangan minyak sawit sebesar 10,7 juta ton. Pada tahun 2030, undangan biofuel diprediksi mencapai 67 juta ton, dan membuka peluang deforestasi gres sebesar 4,5 juta hektar serta hilangnya hampir tiga juta lahan gambut.

Kembangkan energi hijau alternatif yang bersumber dari tenaga surya dan angin

Greenpeace berpandangan pemenuhan kebutuhan energi yang dijawab hanya dengan pengembangan biofuel secara masif tidaklah tepat. Padahal potensi energi terbarukan yang bersumber dari tenaga surya dan angin jauh lebih besar. Potensi tenaga angin sebesar 60.647 MW dan tenaga surya sebesar 207.898 MW, atau jauh lebih besar dibandingkan potensi bioenergi 32.654 MW. Kapasitas terpasang energi surya dan angin pun masih jauh di bawah bioenergi.

Selain itu, Greenpeace juga menilai kedua calon presiden juga tidak mempunyai perilaku yang tegas terhadap lubang-lubang tambang yang dibiarkan tanpa penegakan hukum. Padahal, di Kalimantan Timur, berdasarkan Greenpeace, lubang-lubang tambang kerikil bara telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai yang karenanya berdampak serius pada penghidupan warga.

Dilansir dari Greenpeace, sampai final 2018, terdapat 31 korban meninggal akhir lubang-lubang tambang kerikil bara di Kalimantan Timur. Penegakan aturan sulit dilakukan lantaran adanya keterlibatan elite politik dan pengambil kebijakan dalam bisnis tersebut.

Batu bara melalui keberadaan PLTU ditambah dengan kebakaran hutan berdasarkan forum pemerhati lingkungan hidup itu juga telah merusak kualitas udara Indonesia. Polusi udara mengancam kesehatan dan mengganggu produktivitas masyarakat. Ditambahkan Greenpeace, sedikitnya 6.500 kematian dini diprediksi terjadi setiap tahunnya di Indonesia, akhir mengidap penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara.

Greenpeace juga menyoroti soal percepatan infrastruktur yang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, ibarat petani dan nelayan. Greenpeace memaparkan beberapa contoh, di antaranya perencanaan pembangunan PLTU Batang yang menggusur petani dan nelayan, kriminalisasi penggerak penolak PLTU di Cirebon/Indramayu, tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, dan juga di Surokonto, Jawa Tengah dengan tuduhan yang sama sekali tidak masuk akal.

Mengupas penanganan sampah plastik

Persoalan sampah plastik yang sudah menyentuh titik krisis berdasarkan Greenpeace juga luput dari perhatian kedua calon presiden. Pemerintah sudah menyatakan komitmen untuk mengurangi sampah plastik di bahari sebesar 70 persen pada 2025, tapi rincian agresi faktual belum terlihat, demikian klaim Greenpeace.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kalah jauh dengan sejumlah pemerintah tempat yang sudah menerapkan kebijakan larangan kantong plastik. Perlu langkah nyata demi menyelamatkan daratan dan lautan dari invasi sampah plastik. Demikian dikutip dari keterangan pers yang dirilis Greenpeace.

Menurut pengamatan Greenpeace, pengendalian jumlah plastik sekali pakai dengan fokus pada pengurangan sampah plastik belum menjadi langkah utama yang diambil. Produsen kebutuhan sehari-hari khususnya harus didorong untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, beralih ke model bisnis yang lebih berkelanjutan, serta bertanggung jawab atas sampah dari produk-produk yang mereka hasilkan ibarat yang tertuang pada UU Nomor 18 Tahun 2008 wacana Pengelolaan Sampah.

Greenpeace menyimpulkan, secara keseluruhan, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim di kedua kubu paslon tidak terlihat. Padahal Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris, dan berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29%. "Komitmen penurunan emisi tidak akan tercapai, bila arah pembangunan masih berbasis pada energi fosil dan planning perluasan biofuel yang berdampak pada pembukaan lahan besar-besaran. Kedua kandidat masih punya PR yang besar untuk memperbaiki janji-janji aktivitas kerja mereka bila ingin memenangkan bumi dan masa depan lingkungan Indonesia." tandas Leonard.

ap/ml(Sumber:Greenpeace)





Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel