Bmkg: Ada Korelasi Acara Gunung Merapi Dan Cuaca Ekstrem Di Sleman

BMKG: Ada Korelasi Aktivitas Gunung Merapi dan Cuaca Ekstrem di SlemanJumpa pers di kantor Bupati Sleman. Foto: Ristu Hanafi/detikcom

Sleman -BMKG menyebutkan bahwa hubungan antara kegiatan Gunung Merapi dan cuaca ekstrem di Kabupaten Sleman. Cuaca ekstrem mengakibatkan tragedi hidrometeorologi yang melanda Sleman semenjak bulan November 2018.

"Ada kolerasi antara kegiatan Merapi dengan cuaca ekstrem di wilayah Sleman, ini menjadi perhatian kita semua hingga nanti di tamat pancaroba pada Maret-April 2019," kata Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca BMKG Stasiun Klimatologi Yogyakarta, Sigit Hadi Prakosa dikala jumpa pers di Kantor Bupati Sleman, Kamis (31/1/2019).

Dijelaskannya, meningkatnya kegiatan Merapi berupa guguran lava dan tersedianya bubuk vulkanik di atmosfer akan menambah partikel di udara yang mendukung pembentukan uap air. Peningkatan akumulasi debu vulkanik memicu pembentukan awan Cumulonimbus (CB).

"Pada 29 Januari kemarin, awan CB hingga ketinggian lebih dari 12 km, mengakibatkan hujan es. Pantauan kami suhu puncak awan minus 80 derajat, dengan kesediaan air begitu tebal hingga 9 km dan ketebalan es 3 km di puncak awan, sebabkan hujan lebat disertai es," paparnya.


Berdasarkan analisa BMKG, Kabupaten Sleman memang tergolong wilayah rawan tragedi hidrometeorologi atau tragedi yang disebabkan cuaca ekstrem.

"Berdasarkan data historis di DIY, 81 persen tragedi di wilayah Sleman merupakan tragedi hidrometeorologi. Berupa tornado yang mengakibatkan pohon, baliho roboh, hujan lebat dapat akibatkan banjir dan tanah longsor serta hujan es dan petir," terangnya.

Data BMKG, selama periode trend hujan 2018-2019, tragedi hidrometeorologi di Sleman terjadi semenjak November 2018-Januari 2019.

"Persentase meningkat seiring memasuki puncak trend hujan yang diprediksi terjadi pada Januari 2019. Puncak trend hujan artinya bila diukur curah hujan paling banyak pada Januari," ujarnya.

Selain kegiatan Merapi, fenomena alam El Nino yang dikala ini terjadi di wilayah Indonesia juga kuat terhadap kondisi cuaca. Pada bulan Agustus-November 2018 El Nino dalam kategori lemah, kemudian memasuki Desember-Februari 2019 intensitas meningkat ke sedang.


"Pengaruh dari El Nino akan kuat terlambatnya trend hujan beberapa bulan lalu, curah hujan secara keseluruhan juga berkurang. Tapi tidak serta-merta mengurangi intensitas tragedi hidrometeorologi, tetap ada, lantaran skala cuaca harian mingguan, sedangkan El Nino skala waktunya bulanan," terang Sigit.

"Kemudian masa transisi trend hujan ke kemarau, pada Maret-April 2019 maka potensi tragedi hidrometeorologi juga diprediksi akan semakin meningkat kembali, masih berpotensi di wilayah Sleman," lanjutnya.

"Juga perlu diwaspadai kondisi dikala ini menghangatnya suhu permukaan bahari di Samudera Hindia dan Laut Jawa, meningkatkannya suhu muka bahari hingga anomali 0,5-1 derajat yang berimbas pada peningkatan suhu muka bahari antara 28-30 derajat. Sehingga tersedianya uap air di atmosfer di atas DIY akan memicu pembentukan awan-awan hujan berupa awan CB," imbuhnya.

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel