Tahu Goreng Tawadhu, Pisang Bakar Taubat, Jamur Crispy Hijrah

Jakarta -Tersebutlah tukang penjual kerudung. Barang yang ia jual biasa saja. Merk lama. Di masa media umum yang memunculkan pesatnya bisnis kelas menengah muslim yang memproduksi barang yang sama, bisnis brand ini termasuk tertinggal. Selain tampak terang tak ada inovasi, hari ini sirkulasi bisnis sanggup dengan gampang diamati dari hiruk pikuk akun Instagram. Follower akun Instagram label ini jauh tertinggal jikalau dibanding label-label kerudung gres yang bermunculan belum lama. Tak usah dibandingkan dengan follower Jenahara dan Ria Miranda, wong dibanding dengan akun online shop kecil-kecilan yang pemiliknya yaitu mahasiswa kuliahan saja ia sudah kalah.
Baca Juga
Aduh, kata yang terakhir itu hari-hari ini makin sering bermuatan makna tinggi hati. Tiga kata ini mungkin sanggup dicari artinya dalam kamus, tetapi secara filosofis mereka bukan kata-kata dengan makna yang gampang dijelaskan, alasannya yaitu terkait dengan sebuah spirit khas Islam. Artinya, ada banyak istilah yang sulit dijelaskan lewat pandangan umum, atau pandangan dunia (worldview) agama lain, alias memang memuat arti khusus. Yang menyedihkan yaitu ketika kata tawadhu, taubat, dan hijrah justru kehilangan muatan makna paling falsafi yang bersifat ruhiyah. Menyisakan kata-kata yang lepas dari kandungan makna alias komplemen penjualan belaka.
Cuma, si penjual ternyata punya talenta mengawasi dogma dan mengontrol moral pihak lain. Setiap hari, sambil berjualan, ia menghitungi dosa orang lain, bahkan mencurigai Tuhan orang lain ketika seharusnya ia lebih banyak bicara soal mutu materi bangunan, saluran ke lokasi, peluang pemberdayaan ekonomi, dan prospek ekonomi dan sosial lingkungan sekitar. Alih-alih jadi pembeli yang tertarik bertanya-tanya soal bagan pengajuan kredit, lagi-lagi, justru muncul perasaan seram.
Tapi, para penjual tentu saja bukan orang yang lugu. Mereka tahu bahwa ada pihak-pihak yang tak suka dengan taktik pemasaran itu sama ibarat mereka tahu ada sasaran pasar yang akan mendapatkan taktik pemasaran mereka. Jika bahasa pasar yang seharusnya dibikin plural diubah eksklusif, logikanya, tentu saja harus ada masyarakat yang dibikin pribadi pula.
Padahal, dalam hal muamalah insan disarankan untuk berkegiatan dengan siapa saja asalkan bersepakat pada nilai-nilai kebaikan dalam bergaul. Bahasa kerennya, susila sosial. Etika sosial dalam berdagang yaitu sama-sama untung. Si penjual untung, si pembeli bahagia menerima barang dengan kualitas yang ia harapkan. Etika sosial ala agama, untungnya jangan banyak-banyak dan jikalau banyak untung, sisihkan sebagian laba untuk mereka yang tak lebih beruntung.
Sederhana saja. Seharusnya tak perlu menggunakan budi pribadi yang berisiko mengoyak ikatan sosial seperti, "pemakai kerudung berprestasi", "yang roknya ke atas tak berprestasi". Juga lingkungan perumahan syar'i, perumahan lainnya penduduknya penuh dosa.
Sebentar, apakah pemeluk agama lain kini dilarang makan tahu, pisang, dan jamur crispy?
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam memberikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com