Mari Kita Runtuhkan Langit Untuk Menegakkan Keadilan
[PORTAL-ISLAM.ID] Ada semboyan aturan yang sangat terkenal. Begini bunyinya. “Fiat justitia ruat coelum.” Artinya, “Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh.” Fatwa atau pepatah dahsyat ini diucapkan oleh pemangku kekuasaan Romawi, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus. Dia menyampaikan itu sekitar 50 tahun Sebelum Masehi (SM).
Dalam perjalanannya, “fiat justitia ruat coelum” menjadi sangat termashur di dunia aturan praktik maupun dunia aturan akademik.
Ada dua pemahaman perihal ajaran ini. Yang pertama, adagium itu menggambarkan kesewenangan penguasa dalam memberlakukan titah para raja atau kaisar di zaman Romawi kuno. Dalam arti, apa pun keputusan yang dibentuk penguasa harus dilaksanakan meskipun tidak berkeadilan.
Yang kedua, pepatah ini bermakna bahwa segenting apa pun situasi yang sedang terjadi, keadilan harus ditegakkan. Keadilan di atas segala-galanya. Tidak ada alasan untuk berbuat tak adil.
Saya pribadi lebih suka perspektif yang kedua. Pemaknaan kedua inilah yang terasa lebih pas dan masuk akal.
Nah, bagaimana jikalau di suatu negeri ada jutaan orang yang tidak bisa mendapat keadilan? Bagaimana caranya supaya situasi yang tidak berkeadilan itu bisa menjelma suasana penegakan keadilan?
Dengan memakai pepatah “fiat justitia ruat coelum”, bekerjsama ketidakadilan itu bisa dibalik menjadi berkeadilan. Keadilan akan tegak. Syaratnya, kita harus membuat situasi “langit runtuh”. Dalam arti, kita harus lebih dulu meruntuhkan langit supaya keadilan itu datang. Agar keadilan itu tegak sesuai dengan konten pepatah yang dikatakan oleh Lucius Piso Caesoninus.
Tapi, ini mungkin khusus di Indonesia saja. Bahwa dalam keadaan normal, keadilan tidak tumbuh normal. Keadilan di negeri ini gres akan bersemi jikalau langitnya runtuh. Wallahu a’lam.
Persoalannya, bagaimana cara meruntuhkan langit Indonesia? Ada dua kemungkinan. Ada dua cara yang lumrah.
Pertama, langit Indonesia runtuh dengan sendirinya. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegah keruntuhan itu. Kolaps secara alami. Natural downfall. Itulah ketika ketika pilar-pilar penting yang menopang langit negeri ini tidak lagi bisa menahan beban kejahatan dan kezoliman yang dilakukan oleh elitnya.
Kedua, langit itu diruntuhkan dengan teknik seakan-akan “man-made rainfall” (hujan buatan). Di sini, langit diruntuhkan atas kesepakatan bersama supaya tercipta situasi “fiat justitia ruat coelum”. Langit diruntuhkan dalam upaya untuk melahirkan suasana yang akan merangsang pertumbuhan keadilan yang didambakan itu.
Dengan kata lain, rakyat berusaha menghadirkan keadilan melalui keruntuhan langit yang berlangsung secara artifisial. Cara “langit runtuh buatan manusia” ini tidaklah terlalu penting untuk dipertentangkan dengan “langit runtuh secara alami”. Sebab, yang dibutuhkan oleh rakyat ialah penegakan keadilan.
Kalau esensi penegakan keadilan sudah mengambil bentuk, maka dengan sendirinya akan hilanglah pertanyaan perihal bagaimana langit Indonesia itu runtuh. Tidak asasi lagi soal “langit runtuh” atau “langit diruntuhkan”. Tidak pula relevan berbagi pansus (panitia khusus) untuk memeriksa legitimasi keruntuhan langit yang berlangsung secara artifisial itu.
Yang teramat penting dipastikan ialah eksistensi suasana “langit runtuh” supaya bibit penegakan keadilan sanggup tersemai dan tumbuh berpengaruh di bumi Indonesia. Proses inilah yang krusial bagi rakyat. Dengan demikian, situasi “langit runtuh” menjadi imperatif. Harus ada.
Dari sini, kita selanjutnya akan memasuki periode pemantapan hunjaman akar keadilan itu. Keadilan tidak bisa lagi digoyang atau dilecehkan oleh siapa pun juga. Sampai akibatnya kita akan menyaksikan dominasi penegakan keadilan di seluruh pelosok negeri.
“Ubi societas ibi justicia.” Di mana ada masyarakat atau kehidupan, di situ ada keadilan. Inilah tujuan selesai kehidupan duniawi kita. Tidak akan ada lagi tanah Indonesia yang bolos keadilan.
Jadi, mari kita runtuhkan langit Indonesia untuk menegakkan keadilan yang sedang dinjak-injak. Kita runtuhkan langit demi membuat lahan subur untuk pohon keadilan itu.
Penulis: Asyari Usman
sumber PORTAL ISLAM