Mengabsahkan Kebohongan
[PORTAL-ISLAM.ID] Al Kisah, Abu Nawas berjalan di tengah pasar, sambil melihat ke dalam topinya, kemudian tersenyum bahagia.
Orang-orang pun heran, kemudian bertanya; “Wahai saudaraku Abu Nawas apa gerangan yang engkau lihat ke dalam topimu yang membuatmu tersenyum bahagia?”
“Aku sedang melihat nirwana yang dihiasi barisan bidadari.” Kata Abu Nawas dengan mulut meyakinkan.
“Coba saya lihat?” Kata salah seorang yang ingin tau melihat tingkah Abu Nawas. “Tapi saya tidak yakin kau sanggup melihat menyerupai apa yang saya lihat.” Kata Abu Nawas. “Mengapa?” Tanya orang-orang di sekitar Abu Nawas yang serempak, alasannya yaitu sama-sama semakin penasaran. “Karena hanya orang beriman dan sholeh saja, yang sanggup melihat nirwana dengan bidadarinya di topi ini.” Kata Abu Nawas meyakinkan.
Salah seorang mendekat, kemudian berkata; “Coba saya lihat.” “Silahkan” kata Abu Nawas” Orang itu pun bersegera melihat ke dalam topi, kemudian sejenak menatap ke arah Abu Nawas, kemudian menengok ke orang di sekelilingnya. “Benar kamu, Aku melihat nirwana di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah!” Kata orang itu berteriak.
Orang-orang pun heboh ingin menyaksikan nirwana dan bidadari di dalam topi Abu Nawas, tetapi Abu Nawas mewanti-wanti, bahwa hanya orang beriman yang sanggup melihatnya, tetapi tidak bagi yang kafir.
Dari sekian banyak yang melihat ke dalam topi, banyak yang mengaku melihat nirwana dan bidadari tetapi ada beberapa diantaranya yang tidak meilhat sama sekali, dan berkesimpulan Abu Nawas telah berbohong.
Mereka pun melaporkan Abu Nawas ke Raja, dengan tuduhan telah menebarkan kebohongan di tengah masyarakat.
Akhirnya, Abu Nawas dipanggil menghadap Raja untuk diadili.
“Benarkah di dalam topimu sanggup terlihat nirwana dengan bidadarinya?” “Benar paduka Raja, tetapi hanya orang beriman dan sholeh saja yang sanggup melihatnya.
Sementara yang tidak sanggup melihatnya, berarti beliau belum beriman dan masih kapir.
Kalau paduka Raja mau menyaksikannya sendiri, silahkan..” Kata Abu Nawas.
“Baiklah, jikalau begitu saya mau menyaksikannya sendiri.” Kata Raja. Tentu, Raja tidak melihat nirwana apalagi bidadari di dalam Topi Abu Nawas.
Tapi Raja kemudian berpikir, jikalau ia menyampaikan tidak melihat nirwana dan bidadari, berarti ia termasuk tidak beriman. Akibatnya sanggup merusak reputasinya sebagai Raja.
Maka, Raja itu pun berteriak girang: “Engkau benar Abu Nawas saya menyaksikan nirwana dan bidadari di dalam topimu.
Rakyat yang menyaksikan reaksi Rajanya itu, kemudian membisu seribu bahasa dan tak ada lagi yang berani membantah Abu Nawas. Mereka takut berbeda dengan Raja, alasannya yaitu khawatir dianggap dan dicap kapir atau belum beriman.
Akhirnya, konspirasi kebohongan yang ditebar oleh Abu Nawas, menerima legitimasi dari Raja. Boleh jadi, dalam hati, Abu Nawas tertawa sinis sambil bergumam; beginilah hasilnya jikalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan pun akan merajalela.
Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang kangkung sebagai sesuatu yang “benar.” Ketakutan untuk berbicara jujur, juga alasannya yaitu faktor gengsi.
Gengsi dianggap belum beriman, atau dengan alibi/alasan lainnya. Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuh kebohongan.
Kepercayaan diri sebagai langsung yang berdikari untuk berkomitmen pada kebenaran menurut prinsip kejujuran, telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang bekerjsama sangat subyektif dan semu.
Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran.
Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah akal yang dilakonkan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu yaitu kebohongan yang nyata.
Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas, sanggup saja terjadi disekitar kita…di negeri kita..dikampung kita dan dirumah kita.
Tentu, dengan aneka versi yg berbeda sesuai keadaan dimana kebohongan itu diciptakan..
Wallahu A’lam.
Penulis: Aswar Hasan
sumber PORTAL ISLAM