Daging Ulama Itu Beracun! Polisi, Hakim, Dan Jaksa Yang Memenjarakan Ulama Abuya Dimyathi Mengalami Nasib Naas
[PORTAL-ISLAM.ID] Ada ungkapan 'Daging Ulama itu Beracun!' yang memberikan bahwa barang siapa yang memusuhi ulama, mengkriminalisasikan, dlsb, maka kedzolimannya itu akan dibayar tunai di dunia.
-- Peristiwa absurd menimpa orang-orang yang terlibat penangkapan dan pemenjaraan Abuya Dimyathi. Antara lain polisi, hakim, dan jaksa. "Jaksa Negeri Pandeglang menjadi gila... Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang menjadi bisu. Anggota Polisi Republik Indonesia yang menjemput Abuya menjadi stres --
SELENGKAPNYA....
Kisah Abuya Dimyathi, Ulama Banten Yang Dipenjara Karena Mengkritik Intimidasi Partai Penguasa
Abuya Dimyathi, ulama besar lengan berkuasa di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, mengkritik intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang Pemilu 1977. Dia juga memberikan kepada masyarakat bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar sama ibarat Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yaitu penerima Pemilu 1977.
Abuya Dimyathi pun dianggap pemberontak bahkan dilabeli PKI. Dia ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang. Santri dan jawara bersama masyarakat turun ke jalan untuk membebaskan Abuya Dimyathi.
Mendengar rencana pembebasannya, Abuya Dimyathi menulis surat, kemudian memanggil seorang sipir untuk menyampaikannya ke salahseorang anaknya, Abuya Murthado. Saat itu, Abuya Murthado masih seorang cowok berusia 19 tahun. Dia belum memperoleh gelar Abuya dan tak banyak dikenal orang.
Surat itu berisi undangan Abuya Dimyathi kepada Abuya Murthado biar meneruskan isi surat tersebut kepada Jaro Kamid dan Achmad Waluh, dua tokoh jawara besar lengan berkuasa dari Serang, Banten.
“Saya di dalam bui sudah tenang, jangan mengadakan tindakan apapun,” tulis Abuya Dimyathi dalam suratnya.
Mengetahui surat itu, Jaro Kamid dan Achmad Waluh sempat kecewa. Tetapi penghormatan mereka kepada Abuya Dimyathi jauh melebihi rasa kekecewaannya. “Memang para jawara sangat menghormati ulama,” tulis Abuya Murtadho dalam Manaqib Abuya Cidahu dalam Pesona Langkah di Dua Alam. Mereka kesannya mengurungkan niat membebaskan paksa Abuya Dimyathi.
Begitu pula dengan massa. Mereka semua membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing sehabis mendengarkan isi surat Abuya Dimyathi dari dua jawara tersebut. Cidahu berangsur tenang.
Empat bulan masa penahanan berlalu. Selama itu pula keluarga tetap berupaya mengeluarkan Abuya Dimyathi. Mereka meminta pinjaman ke K.H. Tubagus Ma’ani Rusydi, ulama besar lengan berkuasa asal Menes, Banten. K.H. Tubagus memenuhi undangan keluarga Abuya Dimyathi. Keduanya mempunyai kekerabatan cukup hangat.
K.H. Tubagus mendatangi penjara, menemui kepala penjara, dan menjenguk Abuya Dimyathi. Kepala penjara menyampaikan syarat pembebasan Abuya Dimyathi ialah jaminan berupa uang tebusan. Kemudian K.H. Tubagus meminta perkenan Abuya Dimyathi biar mau dibebaskan olehnya. Tapi Abuya Dimyathi menolak.
Ini penolakan kesekian kali Abuya Dimyathi kepada orang-orang yang ingin membebaskannya. Dia pernah menolak upaya pembebasan dari DPP PPP dan K.H. Idham Chalid, dikala itu menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
“Pertama, Mamak (ayah saya) ke sana menjenguknya, beliau tak mau keluar. ‘Enak aku dipenjara,’ kata Abuya, kepada Mamak,” kata K.H. Hamdi Ma’ani, anak K.H. Tubagus. Penolakan serupa terjadi pada pertemuan kedua mereka. Alasannya, Abuya Dimyathi justru dapat beribadah (wiridan) lebih banyak di dalam penjara ketimbang di luar penjara.
Menurut Abuya Murthado, alasan lain ayahnya menolak pembebasan yaitu menjalani ketetapan eksekusi enam bulan penjara dari pengadilan. Abuya Dimyathi memandang pengadilan sebagai representasi pemerintah. Guru-gurunya dan kitab-kitab yang dipelajarinya mengamanatkan ketaatan pada pemerintah.
“Saya tidak mau mengkhianati pemerintah. Hal ini kan sudah keputusan Hakim selama 6 bulan… Kenapa gres 4 bulan aku disuruh keluar?” kata Abuya Dimyathi sebagaimana ditulis oleh Abuya Murtadho.
Tapi keluarga Abuya Dimyathi tetap mengharapkan pembebasan. Akhirnya K.H. Tubagus mencari uang tebusan dan menyerahkannya pribadi ke penjara. “Langsung Abuya Dimyathi keluar,” kata K.H. Hamdi.
Penahanan Abuya Dimyathi berakhir jenaka. “Sesudah keluar, Mamak ke sana, ke kawasan Abuya Dimyathi. Abuya marah, ‘Ini nih, yang ngalongokkeun aing. Aing keur ngenah-ngenah di penjara (Ini nih yang mengeluarkan saya. Padahal aku lagi enak-enak di penjara)',” kata K.H. Hamdi menirukan dongeng ayahnya sembari tertawa.
Peristiwa absurd menimpa orang-orang yang terlibat penangkapan dan pemenjaraan Abuya Dimyathi. Antara lain polisi, hakim, dan jaksa. "Jaksa Negeri Pandeglang menjadi gila... Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang menjadi bisu. Anggota Polisi Republik Indonesia yang menjemput Abuya menjadi stres, stresnya itu hampir setiap hari selalu berada di jalan menyetopi dan melempari mobil-mobil yang melintas," tulis Abuya Murtadho.
K.H. Hamdi dan K.H. Ariman Anwar, salahseorang santri Abuya Dimyathi semenjak 1975, menguatkan keterangan Abuya Murtadho. "Banyak orang (tahu). Itu menjadi diam-diam umum," kata K.H. Hamdi. "Benar itu. Kapolresnya terlibat kasus. Si jaksa sama hakimnya di prapatan, mengatur kayak polantas gitu," tambah K.H. Ariman.
Sekeluarnya Abuya Dimyathi dari penjara, masyarakat menggelarinya dengan Abuya. Semacam Ajengan di Jawa Barat dan Tuan Guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak tokoh partai politik dan Golkar mendatanginya, berupaya mengajak terlibat politik praktis. Tapi semuanya ditolak oleh Abuya. Dia tetap menentukan mengajar di pondok pesantren dan berbagi ekonomi masyarakat sekitar sampai simpulan hayatnya pada 3 Oktober 2003.
Sumber: Historia
sumber PORTAL ISLAM