Kebangkitan Asia Jadi Peluang Dan Tantangan Bagi Perusahaan Jerman

Kebangkitan Asia Kaprikornus Peluang dan Tantangan Bagi Perusahaan Jerman

Berlin -Lebih 300 pengusaha hadir di "Asia Business Insights" yang digelar harian ekonomi terkemuka Jerman, Handelsblatt. Cina dan India jadi sorotan utama, Indonesia juga mempresentasikan potensinya.

Apakah Asia sebentar lagi akan menyalip negara-negara industri Barat sebagai pasar masa depan dan sentra penemuan teknologi? Para penerima yang hadir di "Asia Business Insights" yang digelar 26 Februari di Dsseldorf memberi balasan jelas: 56 persen menyampaikan hal itu "pasti akan terjadi", 37 persen menilai hal itu "bisa terjadi" dalam waktu dekat.

Saat ini saja, beberapa perusahaan asal Cina dan India sudah menjadi ujung tombak penemuan teknologi dunia. Mereka mendulang peluang di pasar dunia yang luas, dan khusus Cina menerima derma besar dari pemerintahnya.

Hampir tidak ada yang meragukan, Cina tidak usang lagi akan naik menjadi pencetus teknologi kendaraan beroda empat listrik. Penjualan kendaraan di Cina didongkrak dengan banyak sekali subsidi dan regulasi. Hanya dalam waktu singkat, perusahaan-perusahaan pemasok keperluan kendaraan beroda empat listrik bermunculan.

Indonesia tidak ingin ketinggalan

Konferensi bisnis yang digelar harian ekonomi ternama Jerman Handelsblatt dan bank HSBC di Dsseldorf itu memang ajang perkenalan sekaligus promosi. Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, juga diundang memberikan perkembangan perekonomian Indonesia pada sesi "Ambassador Talk" (foto artikel).

"Pertumbuhan ekonomi berada di angka 5.17%. Utang luar negeri masih sehat, yaitu sekitar 26% dari PDB. Tingkat pengangguran sanggup diturunkan hingga 5.13%. Begitu pula angka kemiskinan terus menurun hingga 9,6% di tahun 2018", papar Arif Havas Oegroseno.

Dalam perekonomian digital yang penuh potensi maupun persaingan ketat, Indonesia juga sudah terlibat. "Empat unicorn Indonesia masuk dalam 10 besar Asia, dengan total valuasi mencapai sekitar USD 20 milyar. Bahkan GoJek Indonesia menduduki peringkat pertama Unicorn terbesar di Asia Tenggara, dan peringkat ke-20 dunia", jelasnya.

Saat ini jumlah perusahaan fin tech di Indonesia tercatat ada sekitar 160, tumbuh pesat dari sekitar 50 perusahaan pada tahun tahun 2016. Fin tech yakni perusahaan-perusahaan yang memperkenalkan teknologi dan kemungkinan pembayaran online dan kebutuhan-kebutuhan finansial lain di dunia digital.

Kondisi dan stabilitas politik faktor penentu

Tetapi Kepala Divisi Luar Negeri Handelsblatt Nicole Sebastian tidak berhenti hanya pada ekonomi nasional. Dia juga menanyakan kemajuan Indonesia dalam banyak sekali perjanjian perdagangan internasional. Peserta konferensi juga ingin tahu perihal situasi politik di Indonesia yang akan menghadapi pemilu April nanti.

Indonesia menjadi ajakan khusus dalam konferensi "Asia Business Insights" yang digelar di Hotel Hyatt Regency di Dsseldorf ini. Dubes Arif Havas Oegroseno khusus diundang untuk mengisi sesi obrolan interaktif "Ambassador Talk".

Di panggung internasional, kondisi politik memang jadi sorotan penting. Terutama sengketa dagang AS-Cina yang punya pengaruh besar bagi tempat Asia.

Peluang sekaligus tantangan besar

Direktur Utama Siemens Joe Kaeser menyebut Asia sebagai tempat paling dinamis di dunia ketika ini. Sejak tahun 1990an, Produk Domestik brutto Asia naik tiga kali lipat, di Ciba bahkan sembilan kali lipat. Jutaan warga Asia berhasil mengentas dari kelompok berpenghasilan rendah menjadi kelas menengah baru, dengan daya beli yang meningkat.

Itu sebabnya, Joe Kaeser menyampaikan Asia menjadi peluang dan seklaigus tantangan besar bagi Jerman dan negara-negara industri Barat lain. Peran gres Asia di kancah ekonomi ini masih terlalu sedikit diperhatikan di Eropa, kata Kaeser. Sementara politik industri di Cina, India, Malaysia, Vietnam dan Indonesia terang diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi.

Untuk membangun sinergi, Joe Kaeser mengusulkan kerjasama menurut prinsip saling menguntungkan. Perusahaan-perusahaan Jerman juga perlu menunjukkan alih teknologi melalui pendidikan vokasi. Semua itu sanggup dicapai melalui obrolan kontruktif, terutama untuk menghadapi perilaku Amerika Serikat yang mengarah pada proteksionisme.

hp/vlz (dpa, Handeslblatt.com, KBRI Berlin)





Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel